Sociable Movie Guy
REVIEWS
ROMANSA MANIS DAN MEMABUKKAN SI BUJANG LAPUK Ah… Cinta. Kalau ngomongin hal yang satu ini kayaknya gak ada habisnya ya. Katanya sih, semua orang butuh cinta. Cinta juga disebut banyak bentuknya dan gak melulu soal pacaran. Cinta sama pekerjaan misalnya. Atau cinta dengan orang tua. Khusus cinta sama pasangan, kalian ngerasa gak sih kalau jenis cinta tersebut dipengaruhi banget oleh konstruksi sosial? Contohnya karakteristik pasangan ideal dan kapan cinta tersebut harus disahkan ke dalam sebuah pernikahan yang sering dikaitkan dengan usia tertentu. Padahal, setiap orang kan beda-beda ya dan gak ada rumus pasti yang menyatakan pasangan serta usia ideal buat nikah itu seperti apa. Kemudian, yang paling penting, hubungan ceramah ini dengan film yang mau gue review apa? Gak ada sih. Oke, lanjut ke ‘Love for Sale’. Richard (Gading Marten) adalah seorang pengusaha percetakan yang masih betah sendiri meskipun usianya sudah menginjak kepala empat. Richard juga sangat disiplin soal waktu. Doi paling marah kalau karyawannya ada yang terlambat datang atau makan siang kelamaan. Sehari-hari, interaksinya dengan sesama manusia boleh dibilang seadanya saja. Adalah Kelun yang hadir menjadi sahabatnya, seekor kura-kura berusia 17 tahun yang setia menemani Richard nonton bola sampai ketiduran. Zona nyaman Richard akhirnya terusik saat salah satu dari kawan nobar bolanya akan menikah. Mereka bertaruh kalau Richard pasti akan datang sendiri, seperti biasanya, ke pernikahan tersebut. Merasa tertantang dengan taruhan kawan-kawannya, Richard melancarkan segala cara untuk mencari teman kencan. Titik terang mulai terlihat saat ia iseng mencoba aplikasi cari jodoh yang bernama Love Inc. Arini (Della Dartyan) kemudian hadir di depan pintunya sesuai ‘pesanan’. Yang tidak Richard ketahui, momen dimana ia membukakan pintu untuk Arini adalah saat dimana hidupnya akan berubah. Selamanya. Tema ‘jomblo mencari cinta’ boleh dibilang adalah tema yang pasaran dan sudah diangkat di berbagai medium. ‘Love for Sale’ mencoba mengangkat tema tersebut dengan menyelipkan sophistication dan quirkiness a la Spike Jonze. Bukan bermaksud membandingkan, namun memang yang pertama kali terbersit ketika menonton film ini adalah film ‘Her’-nya Spike Jonze yang tayang tahun 2013. Bagusnya, film ini berhasil berdiri dengan DNA-nya sendiri thanks to penyutradaraan Andibachtiar Yusuf yang grounded. Sebagai sutradara sekaligus penulis film ‘Love for Sale’, sosok yang biasa dipanggil Ucup ini menebarkan jejak kakinya dimana-mana. Ucup merupakan penggemar berat sepak bola dan karya-karyanya sebelum ‘Love for Sale’ juga banyak yang berkutat dengan dunia sepak bola. Salah satu filmnya yang bertemakan sepak bola, ‘The Conductors’, berhasil memenangkan Piala Citra kategori Film Dokumenter Terbaik pada tahun 2008. Gak heran kalau ‘Love for Sale’ juga penuh akan referensi sepak bola, mulai dari hobi karakter utamanya hingga lelucon yang disampaikan di film ini banyak yang berkaitan dengan sepak bola. Tangan dinginnya juga berhasil membuat ‘Love for Sale’ menjadi tontonan yang tidak menggurui namun tetap relatable. Naskah yang ditulisnya bersama M. Irfan Ramly dipenuhi oleh sindiran-sindiran yang kocak dan menyentil. Sementara dari segi penuturan cerita, ‘Love for Sale’ terhitung lancar walaupun sempat tersendat di paruh awal filmnya. Sisi teknis film ini juga tergarap dengan baik, terutama set decoration-nya. Tempat tinggal dan kantor percetakan Richard diperlihatkan berantakan dan sumpek seakan mencerminkan kehidupan pribadi Richard yang juga tidak terurus. Bergerak ke sisi akting, ‘Love for Sale’ dipadati dengan akting yang disampaikan secara pas oleh para pemainnya. Karakter pendukung di film ini banyak dan ada beberapa cameo juga. Dari seluruhnya, yang paling menonjol adalah karakter Panji (Verdi Solaiman) dan Pak Syamsul (Rukman Rosadi). Sebagai sahabat Richard, Panji adalah sosok yang gemar melontarkan kutipan religius dan nasihat meskipun tanpa diminta. Verdi Solaiman sukses membuat tokohnya mengena di ingatan biarpun porsi tampilnya minimalis. Cara doi memberikan penekanan pada dialognya cakep banget dan bikin penonton (baca: gue) terdorong untuk melakukan introspeksi pada kehidupan mereka. Kemudian ada Pak Syamsul, pegawai paling senior di percetakan milik Richard. Dialog beliau lebih sedikit dari Panji tapi setiap celetukan beliau selalu mengundang tawa dan bahkan rasa haru. Sekarang giliran departemen yang paling menonjol di film ini, yaitu departemen pemeran utama. Gading Marten jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan pertamanya menjadi pemeran utama di sebuah film. Meskipun masih terasa kurang saat akting galak, Gading mampu memberikan penampilan menyentuh di momen-momen yang menunjukkan kerapuhan Richard. Kepribadiannya yang nyeleneh (seenggaknya yang diperlihatkan di televisi) turut ditampilkan di sini dan semakin menambah dimensi karakter Richard. Namun, sepertinya Gading harus rela memberikan mahkota akting terbaik di film ini kepada lawan mainnya, Della Dartyan. Sejak menit pertama kemunculannya di film ini, Della terus memberkahi penonton dengan pancaran auranya yang begitu membius seakan menembus layar. Gak cuma parasnya yang cantik, Della juga berhasil menampilkan bahasa tubuh dan sensualitas yang luar biasa pas dengan karakteristik tokohnya. Sepintas, karakter Arini yang diperankannya terasa one-dimensional. Tetapi, itu semua memang sengaja sesuai dengan penokohan yang diberikan kepadanya di film ini. Twist yang muncul menuju akhir filmnya akan menjawab mengapa karakter Arini terkesan kurang dieksplor. Ngomong-ngomong soal twist, film ini sebenarnya sedari awal sudah melempar benih-benih petunjuk yang mengisyaratkan there’s something else about Arini. Gue tidak akan membocorkan detailnya, namun gue mau memberikan pujian kepada film ini atas keberaniannya untuk menyertakan twist tersebut. Meskipun muncul di belakang, twist di film ini menjadi katalis yang membuat kualitas ‘Love for Sale’ naik kelas. Keputusan film ini untuk tidak memberikan penjelasan lebih mengenai twist-nya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Film ini tentu juga memiliki beberapa kelemahan. Entah mengapa, gue merasa reaksi Richard saat twist di film ini muncul terlampau datar. Bisa jadi Richard digambarkan sama-sama bingung dan clueless layaknya penonton yang menyaksikan kisahnya. Tapi... sepertinya akan lebih nendang kalau Richard digambarkan mengalami some sort of meltdown yang pastinya akan semakin menambah lapisan karakternya. Masih seputar hal ini, gue juga merasa Richard melewati upaya-upaya yang seharusnya obvious untuk memahami twist tersebut. Contohnya, Richard gak terlihat mengecek aplikasi Love Inc sama sekali saat twist tersebut muncul atau at least nelpon balik customer service yang menghubunginya di awal. Jika diibaratkan kurang lebih jadinya seperti ini: Richard mengalami luka sayat di jarinya dan langsung memilih untuk ke rumah sakit tanpa memberikan pertolongan pertama dahulu ke lukanya tersebut. Meskipun begitu, kelemahan-kelemahan ini berhasil ditutupi dengan aspek-aspek positif lain yang dimiliki ‘Love for Sale’. Kesimpulannya, ‘Love for Sale’ adalah drama romantis yang berani, menggoda dan memesona. Penampilan memukau dari Della Dartyan seharusnya sudah lebih dari cukup untuk kalian jadikan alasan menonton filmnya di bioskop. Segera beli tiketnya sebelum filmnya turun layar! SKOR : 3.5/5
0 Comments
PERHELATAN OSCAR TINGGAL MENGHITUNG JAM!!! Kalau pecinta bola hari besar-nya adalah Piala Dunia, bagi gue hari besarnya adalah Oscar. I’ve always been drawn into movie awards show since the very beginning, especially The Oscars. Entah kenapa, nonton Oscar selalu bikin gue semangat dan merinding kesenengan sendiri. Apalagi kalau nontonnya live. Bukan nonton live di Amerika sana ya (although I hope someday I will be able to do that!), tapi live nonton di rumah via streaming or cable. Jangankan nonton main ceremony-nya deh, nonton live pengumuman nominasinya aja udah bikin gue bahagia bukan main. Ajaib memang efek yang diberikan Oscar kepada gue. If only I could turn them into pills so I could drink them every time the world tries to bring me down! Sebelum mulai prediksinya, izinkan gue untuk mengatakan bahwa yang akan kalian baca adalah gabungan dari opini pribadi, naluri (karena sejujurnya gue gak sempat menonton semua film dan performance yang dinominasikan) dan jejak rekam awards sebelum Oscar seperti Golden Globes, Critics’ Choice Awards, Screen Actors Guild Awards dan lain-lain. Kategori yang diprediksi juga tergolong kategori major karena gue merasa kapasitas gue belum sampai ke ranah kategori yang lain hahahaha. Alright, without further a due, here I present you 2018 ACADEMY AWARDS PREDICTIONS BY SOCIABLE MOVIE GUY! ACTRESS IN A SUPPORTING ROLENominees : Mary J. Blige – Mudbound Allison Janney – I, Tonya Lesley Manville – Phantom Thread Laurie Metcalf – Lady Bird Octavia Spencer – The Shape of Water Who will win : Allison Janney – I, Tonya Who should win : Allison Janney – I, Tonya Who might win : Laurie Metcalf – Lady Bird Sebenarnya, Allison Janney terlalu kuat untuk dikalahkan oleh nama-nama lain di kategori ini. Track record-nya juga hampir tanpa cela untuk perannya sebagai Ibu yang kasih sayangnya sangat twisted di fim I,Tonya. Semua awards besar sebelum Oscars disapu bersih oleh Allison Janney. Namun, kalau ada satu orang yang mungkin mencuri kemenangan beliau, sosok tersebut adalah Laurie Metcalf untuk perannya sebagai Ibu yang tegas namun hangat di Lady Bird. ACTOR IN A SUPPORTING ROLENominees : Willem Dafoe – The Florida Project Woody Harrelson – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Richard Jenkins – The Shape of Water Christopher Plummer – All the Money in the World Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who will win : Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who might win : Richard Jenkins – The Shape of Water Penampilan Sam Rockwell di Three Billboards Outside Ebbing, Missouri sebenarnya hampir kalah saing dengan rekan sesama pemain Woody Harrelson. Namun, karakter Sam Rockwell di film tersebut diberikan ruang lebih untuk berkembang sehingga tokohnya terasa lebih well-rounded. Meskipun begitu, penampilan scene-stealing Richard Jenkins sebagai tetangga sekaligus sahabat sang tokoh utama di The Shape of Water bisa jadi menyalip Sam Rockwell dan memenangkan kategori ini. ACTRESS IN A LEADING ROLENominees : Sally Hawkins – The Shape of Water Frances McDormand – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Margot Robbie – I, Tonya Saoirse Ronan – Lady Bird Meryl Streep – The Post Who will win : Frances McDormand – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Saoirse Ronan – Lady Bird Who might win : Sally Hawkins – The Shape of Water Semua nama di kategori ini menyajikan penampilan yang kuat dan berbeda dengan satu dan yang lainnya. Namun, sama seperti di kategori Supporting Actress, Frances McDormand sulit untuk dikalahkan sebagai calon terkuat yang akan memenangkan piala emas. Sulit bukan berarti tidak mungkin, karena penampilan Saoirse Ronan yang layered dan sangat magnetik di Lady Bird menurut gue pantas diganjar Oscar. All the while Sally Hawkins mengantre di belakang mereka dan bisa jadi yang memberikan thank you speech di atas panggung. ACTOR IN A LEADING ROLENominees : Timothee Chalamet – Call Me by Your Name Daniel Day-Lewis – Phantom Thread Daniel Kaluuya – Get Out Gary Oldman – Darkest Hour Denzel Washington – Roman J. Israel, Esq Who will win : Gary Oldman – Darkest Hour Who should win : Gary Oldman – Darkest Hour Who might win : Timothee Chalamet – Call Me by Your Name Performa Gary Oldman sebagai Winston Churchill di Darkest Hour tergolong fenomenal. Beliau benar-benar bertransformasi menjadi mantan Perdana Menteri Inggris tersebut dengan penampilan yang sangat commanding. Tetapi, beliau harus berhati-hati karena penampilan Timothee Chalamet yang heart-breaking di Call Me by Your Name mengancam kemenangannya dengan serius. Kalau Chalamet menang, doi bakal menjadi peraih Best Leading Actor termuda sepanjang sejarah Oscars (umurnya baru 22 tahun coy!) WRITING (ADAPTED SCREENPLAY)Nominees : James Ivory – Call Me by Your Name Scott Neustadler & Michael H. Weber – The Disaster Artist Scott Frank, James Mangold & Michael Green – Logan Aaron Sorkin – Molly’s Game Virgil Williams & Dee Rees – Mudbound Who will win : James Ivory – Call Me by Your Name Who should win : James Ivory – Call Me by Your Name Who might win : Aaron Sorkin – Molly’s Game James Ivory sepertinya sudah bisa dipastikan akan memenangkan kategori ini, thanks to his sensitively-handled Call Me by Your Name script. Even though it’s a long shot, yang paling mungkin muncul sebagai pemenang di kategori ini selain James Ivory adalah Aaron Sorkin yang boleh dibilang merupakan seorang awards-darling. WRITING (ORIGINAL SCREENPLAY)Nominees : Emily V. Gordon & Kumail Nanjiani – The Big Sick Jordan Peele – Get Out Greta Gerwig – Lady Bird Vanessa Taylor & Guillermo del Toro – The Shape of Water Martin McDonagh – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who will win : Martin McDonagh – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who should win : Greta Gerwig – Lady Bird Who might win : Vanessa Taylor & Guillermo del Toro – The Shape of Water/ Jordan Peele – Get Out Walaupun kalau dinilai dari sisi orisinalitas skripnya Lady Bird masih kalah dibanding The Shape of Water dan Get Out, tapi Lady Bird memiliki sincerity dan modesty yang mengalir halus sepanjang filmnya. Ditambah dengan dialog yang cerdas dan super kocak, Lady Bird menurut gue pantas menyabet piala untuk kategori ini. Meskipun begitu, firasat gue mengatakan Oscar voters akan lebih memilih skrip Three Billboards yang gritty dan bleak. ANIMATED FEATURE FILMNominees : The Boss Baby The Breadwinner Coco Ferdinand Loving Vincent Who will win : Coco Who should win : Coco Who might win : Loving Vincent Lewat Coco, Pixar sekali lagi membuktikan bahwa mereka adalah yang teratas dalam memberikan pengalaman emosional dalam bentuk animasi. Disertai warna-warna cerah nan cantik serta alunan musik yang menarik, Coco tidak terkalahkan di kategori ini. Kalau pun ada yang berpotensi membuat kejutan dengan mengalahkan Coco, film tersebut adalah Loving Vincent yang sama-sama menawarkan pengalaman emosional nan mengharukan. CINEMATOGRAPHYNominees : Roger A. Deakins – Blade Runner 2049 Bruno Delbonnel – Darkest Hour Hoyte van Hoytema – Dunkirk Rachel Morrison – Mudbound Dan Laustsen – The Shape of Water Who will win : Roger A. Deakins – Blade Runner Who should win : Roger A. Deakins – Blade Runner Who might win : Dan Laustsen – The Shape of Water Roger A. Deakins merupakan seorang sinematografer senior yang sudah mendapatkan nominasi Oscar sebanyak 14 kali di kategori yang sama namun belum pernah menang. Gambar-gambar super indah hasil tangkapan beliau di Blade Runner 2049 sepertinya akan menghasilkan piala Oscar baginya. Saingan terberatnya adalah Dan Laustsen yang menghadirkan shot bernuansa muram namun tetap nikmat dipandang di The Shape of Water MUSIC (ORIGINAL SCORE)Nominees : Hans Zimmer – Dunkirk Johnny Greenwood – Phantom Thread John Williams – Star Wars: The Last Jedi Alexandre Desplat – The Shape of Water Carter Burwell – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who will win : Alexandre Desplat – The Shape of Water Who should win : Hans Zimmer – Dunkirk Who might win : Hans Zimmer – Dunkirk Awal nonton The Shape of Water gue bahkan gak ngeh sama scoringnya. Tapi, pas didengerin ulang scoring-nya semakin lama semakin terdengar kawin sama filmnya. Kemudian, komposer senior Hans Zimmer juga gak main-main mengerahkan kemampuannya untuk musik Dunkirk. Scoring beliau terdengar sangat visceral dan meningkatkan intensitas filmnya yang memang sudah menegangkan. Menurut gue, Zimmer patut menang di kategori ini dan kesempatannya lumayan besar untuk naik ke atas panggung menerima piala Oscar-nya. MUSIC (ORIGINAL SONG)Nominees : Mighty River – Mudbound Mystery of Love – Call Me by Your name Remember Me – Coco Stand Up for Something – Marshall This is Me – The Greatest Showman Who will win : Remember Me – Coco Who should win : Remember Me – Coco Who might win : This is Me – The Greatest Showman Diantara semua judul di atas, ada tiga yang menonjol yaitu soundtrack-nya Coco, Call Me by Your Name dan The Greatest Showman. Menurut gue, Coco berada di peringkat teratas karena kecocokan yang luar biasa saat lagu Remember Me dimainkan dengan adegan yang diputar di film (I’m talking about the scene near the end when Miguel sings the song to his Grandmother). Bukan hanya itu, liriknya juga selaras banget dengan tema filmnya secara keseluruhan. This is Me-nya The Greatest Showman, walaupun menurut gue slightly overdone, merupakan kandidat yang paling mungkin mencuri kemenangan Remember Me-nya Coco. DIRECTINGNominees : Christopher Nolan - Dunkirk Jordan Peele – Get Out Greta Gerwig – Lady Bird Paul Thomas Anderson – Phantom Thread Guillermo del Toro – The Shape of Water Who will win : Guillermo del Toro – The Shape of Water Who should win : Christopher Nolan - Dunkirk Who might win : Jordan Peele – Get Out Guillermo del Toro sepertinya harus bersiap-siap menulis ulang thank you speech-nya karena takutnya speech yang sebelum-sebelumnya sudah terdengar usang. Nama beliau hampir selalu terdengar di awards-awards tahun ini setiap kali pemenang Best Director dibacakan. Visinya yang imajinatif berhasil menjadikan beliau kandidat terkuat untuk memenangkan kategori ini. Biarpun begitu, menurut gue Christopher Nolan lebih berhak menang atas Dunkirk-nya yang ambisius. Di tangan sutradara lain, Dunkirk pasti akan menjadi tidak karuan dan mengecewakan. Sementara itu, Jordan Peele bisa jadi mencetak sejarah sebagai sutradara kulit hitam pertama yang menang Oscar di kategori ini untuk Get Out-nya yang very well-received. BEST PICTURENominees :
Call Me by Your Name Darkest Hour Dunkirk Get Out Lady Bird Phantom Thread The Post The Shape of Water Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who will win : Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Lady Bird Who might win : The Shape of Water Akhirnya tiba juga di kategori paling bergengsi di jagat perfilman dunia. Pilihan filmnya bikin gue dirundung dilema sampai gue perlu merenung dulu untuk memilih ketiga judul di atas hahahaha. Berdasarkan selera Oscar voters dan jejak rekam pemenang Best Picture in recent years, Three Billboards boleh dibilang yang paling memenuhi kriteria. Kualitasnya bagus, bukan film mainstream, lingkupnya cenderung kecil dan tema filmnya terbilang berbobot. Di belakangnya ada The Shape of Water yang bisa jadi bikin Oscar voters kepincut karena temanya yang universal, yakni embracing differences. Selanjutnya ada Lady Bird yang menurut gue pantas menang walaupun gue sangat sangat sadar kemungkinan film ini untuk actually win the golden statuette luar biasa tipis. Tapi, gue gak bisa membohongi diri gue sendiri kalau Lady Bird adalah film yang paling mengena di hati gue dibandingkan yang lain. Temanya boleh jadi paling ringan dibandingkan Three Billboards dan The Shape of Water namun pesonanya sulit sekali ditolak. I’m sorry if I’m being subjective here but I just can’t help myself! Kalau kalian sendiri gimana, apakah ada jagoan tersendiri untuk memenangkan kategori-kategori di atas? Silakan share komen kalian disini yah atau give me a buzz through IG @wildanahmd juga boleh! Ohiya, Oscar bisa disaksikan besok secara langsung di HBO Asia jam 8 pagi dan jam 7 malam untuk siaran ulangnya. Selamat nonton Oscar! HARI-HARI TERAKHIR VINCENT VAN GOGH YANG MENYENTUH DAN MENYAYAT HATI Kalau di review sebelumnya yang dibahas adalah peristiwa penting dunia, kali ini tokoh dunia yang kebagian giliran. Yep, kisah tokoh dunia juga merupakan salah satu materi favorit untuk difilmkan. Mulai dari cerita tokoh politik, olahraga, dunia hiburan hingga seni sering wara-wiri di layar perak. Salah satu yang teranyar adalah ‘Loving Vincent’ yang menyoroti hari-hari terakhir pelukis asal Belanda, Vincent van Gogh, sebelum beliau meninggal dunia. Uniknya, film ini berformat animasi yang seluruhnya dibuat dari lukisan cat minyak hand-painted! Walaupun judulnya ‘Loving Vincent’, tokoh utama di film ini justru bukan Vincent van Gogh. Penggerak cerita di film ini adalah Armand Roulin (Douglas Booth), anak petinggi Kantor Pos Joseph Roulin (Chris O’Dowd) di daerah Arles, Perancis. Selama menetap disana, Vincent (Robert Gulaczyk) rutin mengirimkan surat kepada adiknya Theo van Gogh (Cezary Lukaszewicz). Saking seringnya ngirim surat, Vincent dan Joseph jadi berteman. Setahun setelah kepergian Vincent, Joseph meminta Armand untuk mengantarkan surat terakhir Vincent yang dialamatkan kepada adiknya. Secara enggan, Armand pun akhirnya mengabulkan permintaan ayahnya dan memulai perjalanan mengantarkan surat tersebut. Berhasilkah Armand menyampaikan surat tersebut kepada yang berhak menerimanya? Story-wise, gak ada yang spesial sama film ini. Ceritanya sederhana dan penuturannya pun gak rumit walaupun karakter yang ditampilkan cukup banyak. Tetapi, kesederhanaannya itulah yang semakin membuat filmnya menawan. Tone cerita ‘Loving Vincent’ terasa down-to-earth dan hangat, selaras dengan aura yang dipancarkan Vincent van Gogh sepanjang filmnya. Gak cuma itu, filmnya juga sukses memancing perasaan haru penonton dengan cara yang jauh dari kata eksploitatif. Naskah filmnya ditulis oleh Jacek Dehnel, Dorota Kobiela dan Hugh Welchman dimana dua nama terakhir juga berperan sebagai sutradara. Keduanya sukses mengarahkan film ini dengan sensitivitas yang luar biasa. Mereka menunjukkan bahwa mereka paham betul akan sosok yang mereka angkat dan melakukan penghormatan dengan cara yang pantas. Tidak ada yang terasa berlebihan atau dipaksakan di film ini. Semuanya disajikan dengan pas dan seiring berjalannya durasi ceritanya pun semakin menarik untuk diikuti. Film ini juga sukses membuat gue, yang sama sekali awam tentang Vincent van Gogh, jadi penasaran sama sosoknya. Bahkan bukan cuma penasaran, tapi juga jadi peduli dengan apa yang Vincent alami. Vincent digambarkan sebagai sosok yang misterius (bukan misterius serem ya, tapi misterius yang kompleks dan tidak banyak bicara tentang dirinya sendiri) dan cenderung eksentrik. Sayangnya, lingkungan sekitarnya gak mampu memahami dirinya dan hal itu membuat Vincent merasa menjadi outsider. Karakteristik yang dimilikinya dianggap terlalu aneh sama orang-orang disekitarnya. Gue yakin, setiap orang di dalam suatu fase dalam hidupnya pasti pernah merasakan hal yang sama seperti Vincent. Those times when you feel you don’t belong to your surroundings and feel no one gets you? Trust me, I know how suck it is. Dengan kata lain, film ini terasa relatable dan hal itu membuat filmnya semakin heartfelt. Dari segi pengisi suara, ‘Loving Vincent’ diberkahi dengan aktor-aktris yang berbakat. Saoirse Ronan (current Best Actress Oscar-nominee for the amazing Lady Bird) bahkan turut andil di film ini! Ronan cuma muncul sebentar sebagai Marguerite Gachet tapi karakternya berhasil menambah aspek ambiguitas film ini. Ngomong-ngomong soal ambiguitas, film ini sedari awal kental akan unsur tersebut dimana penonton akan disuguhkan beragam spekulasi tentang apa yang sebenarnya menyebabkan kematian Vincent. Tapi, jangan berharap kalau jawaban jernih akan kalian dapatkan saat filmnya berakhir. Aspek ambiguitasnya benar-benar terjaga hingga akhir film dan gue senang akan hal tersebut. Kenapa? Karena tujuan awal film ini memang bukan mengungkap penyebab kematian Vincent, melainkan menghadirkan sosok Vincent yang one-of-a-kind dari berbagai macam perspektif. Ohiya, walaupun Ronan ada di film ini dan gue saat ini sedang kepincut habis-habisan sama doi thanks to her spectular performance in Lady Bird, yang menjadi scene-stealer di ‘Loving Vincent’ adalah Eleanor Tomlinson. Berperan sebagai Adeline Ravoux, karakternya yang ceria menjadi magnet tersendiri bagi yang menonton. Tomlinson meminjamkan suaranya yang bernada enthusiastic ke dalam diri Adeline dan berhasil memberikan penampilan yang memorable. Membahas ‘Loving Vincent’ tanpa menyinggung aspek teknisnya rasanya bagaikan makan mie instan tanpa telor. Gak afdol dan terasa hampa (?). Film ini benar-benar mengusung konsep gotong-royong karena kurang lebih dibutuhkan 65.000 lukisan dari 125 pelukis untuk keseluruhan filmnya! Estetikanya kelas wahid, guratan cat minyak warna-warni silih berganti memberikan asupan ‘gizi’ bagi mata para penonton. Gak kebayang deh dedikasi yang diberikan oleh seluruh tim sampai film ini siap tayang di bioskop. Bravo! Kalau nanti kalian nonton ‘Loving Vincent’, jangan buru-buru kabur saat lampu bioskop mulai menyala. Salah satu momen terkuat filmnya justru hadir saat closing credits-nya bergulir. Lagu remake Starry-Starry Night (versi aslinya dinyanyikan oleh Don McLean) hadir mengiringi closing credits-nya dan efek emosionalnya luar biasa. Dibawakan oleh suara merdu nan soulful Lianne La Havas, lagu ini menjadi penutup sempurna yang sukses membuat gue merinding saking powerful-nya. Believe it or not, saat gue nonton ‘Loving Vincent’ di bioskop, gak ada satu orang pun yang beranjak dari kursinya sebelum lagunya selesai diputar. Jika kalian menyaksikan ini dan tidak merasakan apapun, segera periksakan diri kalian ke dokter untuk dicek kalian beneran manusia atau bukan. ‘Loving Vincent’ tentu hadir bukan tanpa kelemahan. Pace cerita dalam film terasa goyah pada beberapa bagiannya. Bagian-bagian tersebut terkesan diburu-buru sehingga berpotensi membuat penonton tidak keep-up dengan ceritanya. Bagian yang dimaksud adalah saat awal film dan saat penjelasan mengenai insiden yang membuat Vincent diusir dari Arles. Untungnya, kecepatan penuturan film ini berangsur-angsur membaik pada paruh kedua dan ketiga filmnya.
All in all, ‘Loving Vincent’ adalah tribute bagi Vincent van Gogh yang dilantunkan secara indah. Didukung dengan animasi yang memanjakan mata, film ini akan membuat kalian kagum, sedih sekaligus terharu. Untuk yang gampang nangis, jangan lupa siapkan (berlembar-lembar) tisu ya! SKOR :4/5 |
Archives
July 2018
Categories
All
AuthorA self-acclaimed movie guy who likes to socialize |