Sociable Movie Guy
REVIEWS
DRAMA JURNALISTIK MENEGANGKAN DARI STORYTELLING MASTER STEVEN SPIELBERG Peristiwa penting yang terjadi di dunia seringkali jadi bahan empuk untuk dijadikan sebuah film. Kisah-kisah yang dipilih biasanya yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat atau yang menjadi buah bibir media selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun). Tapi, para filmmaker gak boleh sembarangan kalau mau bikin film based on true events. Selain harus mengumpulkan materi yang komprehensif, filmmaker juga harus memastikan bahwa penggambaran di film akurat dan representatif terhadap keseluruhan komponen peristiwa yang mereka wakili. Wah, berat juga ya? Memang. Belum lagi mereka harus memastikan bahwa filmnya tetap punya unsur entertaining yang bisa menarik penonton. Penyampaiannya terlalu berat, penonton bisa jadi malah mendengkur nikmat. Kalau yang terjadi sebaliknya, film bisa dituduh menyepelekan dan tidak menghormati peristiwa yang jadi inspirasinya. Untungnya, film berdasarkan peristiwa nyata The Post, berhasil menghindari hal-hal yang berpotensi meninabobokan penontonnya. Here’s why. Berlatar tahun 1970-an, The Post memasang dua pelakon senior Meryl Streep dan Tom Hanks sebagai nakhoda ceritanya. Streep berperan sebagai Katharine Graham, publisher wanita pertama sekaligus pemilik The Washington Post. Sementara Hanks mendapat bagian memainkan Editor-in-Chief The Washington Post, Ben Bradlee. Watak mereka yang bertolak belakang seringkali menimbulkan friksi di antara keduanya. Dalam mengambil keputusan, Katharine penuh pertimbangan sementara di dalam kamus Ben tidak ada yang namanya segan. Dinamika keduanya semakin diuji saat artikel kompetitor mereka, The New York Times, memicu tim jurnalis The Washington Post untuk mendalami indikasi adanya upaya pengelabuan fakta oleh pemerintah Amerika Serikat terkait dengan perang Vietnam. Berangkat dari premis tersebut, filmnya kemudian bergulir menyajikan usaha tim The Washington Post untuk menerbitkan dokumen yang dikenal dengan nama Pentagon Papers. Perjuangan mereka digambarkan penuh dengan ketegangan karena selain harus adu balap dengan waktu, mereka juga harus menghadapi berbagai pihak yang gak suka kalau Pentagon Papers dirilis. Sepanjang film, penonton sukses diajak ikutan harap-harap cemas berkat naskah cerdik yang ditulis oleh Liz Hannah dan Josh Singer. Jalinan ceritanya juga bakal bikin penonton gemas bahkan untuk yang benar-benar awam dengan Pentagon Papers (kayak gue hahahaha). Ngomong-ngomong soal naskah, film ini memiliki apa yang gue sebut dengan momen puncak dan build up-nya sangat rapi. Satu demi satu, ‘benih-benih’ momen tersebut ditebar sejak awal durasi hingga akhirnya yang diantisipasi muncul dengan luapan emosi yang terjaga. Gak seru tentunya kalau gue deskripsikan momen apa yang dimaksud. Yang pasti, momen tersebut berkaitan dengan tokoh yang diperankan Meryl Streep. Naskah yang baik tentu akan berat sebelah kalau gak diimbangi dengan kemampuan pemain yang mumpuni. Gerombolan karakter pendukung di film ini dibawakan dengan mulus oleh aktor-aktris berkualitas wahid. Mulai dari Bob Odenkirk yang terkenal akan aktingnya di serial Breaking Bad dan Better Call Saul, Carrie Coon yang penampilannya di serial The Leftovers super heart-breaking hingga Matthew Rhys yang performanya di serial The Americans sering masuk daftar akting terbaik, semuanya berkontribusi menjadikan The Post tontonan yang menarik. Di film ini, mereka bertiga memerankan Ben Bagdikian, Meg Greenfield dan Daniel Ellsberg, respectively. Sementara di departemen tokoh utama, Streep berhasil mencuri perhatian lebih dibandingkan dengan Hanks. Penampilan Hanks bukan berarti buruk, ia sukses membawakan karakter Ben yang idealis, keras kepala dan kompetitif dengan likeability yang pas. Namun, Streep ‘menang’ karena beliau dengan piawai menimbulkan empati penonton terhadap kesulitan yang dihadapi Katharine. Akting terbaik Streep di film ini muncul setiap kali ada adegan yang mengharuskannya menampilkan emosi berlapis hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah dan gestur tubuh. Pengembangan karakter Katharine juga diberikan ruang yang paling luas disini. Sepanjang film, penonton akan turut menyaksikan perubahan Katharine dari sosok pemimpin yang diremehkan hingga berhasil bangkit menunjukkan taringnya sebagai pemimpin. Semuanya ditampilkan Streep secara effortless dan believable. Wajar banget kalau akting Streep di film ini berbuah nominasi Oscar yang ke-21 untuk beliau dan semakin mengukuhkannya sebagai pemain film dengan nominasi Oscar terbanyak sepanjang sejarah (dan doi udah menang tiga kali!). Naskah sudah baik. Talenta sudah hebat. Sekarang hanya perlu orang yang berkemampuan menyulap elemen-elemen tersebut menjadi tontonan yang berkualitas. Inilah bagian dimana peran seorang Steven Spielberg sebagai sutradara sangat terasa. Spielberg memang dikenal sebagai salah satu sutradara yang kemampuan storytelling-nya berada di jajaran teratas. Cara beliau menerjemahkan naskah ke dalam bahasa film dan mengawinkannya dengan kemampuan para pemainnya sangat jempol-able (baca: patut diacungi jempol). The Post punya inti cerita yang tidak ringan namun Spielberg berhasil mengemasnya menjadi film yang enjoyable sekalipun penontonnya datang tanpa bekal sama sekali mengenai subjek yang dibahas. Di tangan orang lain, film ini bisa-bisa jadi terlalu rumit dan pretentious. Hebatnya lagi, Spielberg dikabarkan hanya memiliki waktu sebanyak sembilan bulan untuk proses pembuatan filmnya! Hal tersebut tergolong singkat untuk standar film Hollywood yang umumnya tidak pelit waktu demi menyempurnakan kualitas film. Elemen-elemen lain di The Post juga bekerja dengan baik dalam menyokong kualitas film secara keseluruhan. Kostum dan desain produksi yang disuguhkan memberikan rasa 70an yang kuat. Sound yang disodorkan juga menambah elemen ketegangan film ini. Bunyi mesin tik hingga suara mesin pencetak koran saling bekerja sama menambahkan intensitas ke dalam jalinan cerita. Sinematografi oleh Janusz Kaminski pun terlihat cantik walaupun sebagian besar setting filmnya berada di dalam ruangan. Gak cuma itu, editing film ini juga memberikan sumbangsih terhadap enjoyableness (kata ini kayaknya gak ada di kamus sih, tapi I know you get it lah) filmnya dan terasa sangat Spielberg. Walaupun yang bertugas sebagai editor adalah Sarah Broshar dan Michael Kahn (editor langganannya film Spielberg) tapi gue yakin betul andil Spielberg besar disini. Kenapa? Soalnya editing feel filmnya mengingatkan gue akan film Bridge of Spies yang notabene digawangi oleh Spielberg juga. Gue cuma bisa wondering Kahn pasti sudah ngelotok banget terhadap gaya editing film Spielberg kayak apa. Keterlibatan Spielberg di film ini sayangnya gak bisa menutupi kelemahan-kelemahan yang dimiliki The Post. Sebelumnya sempat disinggung kalau film ini enjoyable. Tapi, agar bisa menikmatinya dengan penuh penonton harus memasang konsentrasi ekstra. Hal ini dikarenakan filmnya berlari cepat dan informasi yang disampaikan padat. Bagusnya, hal tersebut bikin filmnya gak membosankan. Namun, kalau penonton hilang konsentrasi sedikit filmnya tetap ngibrit sehingga perlu waktu untuk mengingat-ingat kembali. Ditambah lagi, karakter pendukung di film ini sangat banyak dan pengenalan yang diberikan hanya seadanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul saat menonton film ini adalah “Eh ini kenapa ya? Bentar deh, si itu siapa sih? Dia ngapain disini?”. Risiko tersebut berpotensi lebih besar dialami penonton awam seperti gue. Datang ke bioskop tanpa amunisi pengetahuan apapun, gue mau tau filmnya berhasil atau gak mengenalkan subjek yang diangkatnya kepada penonton. Sebagai penonton awam, gue nyatakan film ini berhasil. Namun, dengan catatan konsentrasi harus dipeluk erat sepanjang berjalannya film. Kesimpulannya, The Post menghidangkan drama jurnalistik yang cepat, padat dan didukung akting yang memikat. Walaupun kadang membuat kewalahan, kualitas film ini tetap patut dijadikan alasan untuk kalian pergi ke bioskop. Cukup siapkan konsentrasi dan kalian pasti akan menikmati film ini! SKOR: 3.5/5
0 Comments
Kisah Kebangkitan Raja Wakanda yang Bikin Ingin Berseru Wakanda Forever! Sebagai pembuka tahun 2018, Marvel memilih babak lanjutan dari cerita T’Challa (Chadwick Boseman) yang sebelumnya diperkenalkan kepada penonton di film Captain America : Civil War. Berlanjut dari situ, di film solonya ini T’Challa dikisahkan sedang bersiap menghadapi penobatan dirinya sebagai Raja Wakanda yang baru selepas kepergian Raja Wakanda sebelumnya, T’Chaka, yang merupakan ayah kandung T’Challa. Namun, perjalanan T’Challa menjadi Raja Wakanda yang sesungguhnya dipenuhi beragam rintangan. Mulai dari pergolakan batin hingga perbedaan ideologi senantiasa membuat petualangan T’Challa jauh dari kata mulus. Lantas, berhasilkah T’Challa membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi Raja Wakanda? Disutradarai oleh Ryan Coogler, Black Panther merupakan film superhero yang gak cuma bergantung dengan adegan aksi atau ledakan semata. Berkat tangan dinginnya, aksi T’Challa dan kawan-kawannya terasa semakin menarik karena ditemani dengan drama berbobot dan penampilan memukau dari para pemainnya. Jadi, pada saat mereka beneran beraksi alias berantem, mereka gak cuma sekedar adu jotos dan pakai senjata ini itu. There are real stakes here. T’Challa galau harus mengikuti tradisi turun temurun demi menjaga Wakanda atau menjajal ideologi baru yang dapat menjadikan Wakanda bermanfaat bagi masyarakat luas. Musuh utamanya, Erik Killmonger (Michael B. Jordan) memiliki tujuan yang pada hakikatnya mulia namun caranya ekstrim dan dilandasi dendam yang luar biasa mendalam. Kudos untuk Joe Robert Cole dan Ryan Coogler yang juga ikutan nulis naskah Black Panther yang memikat ini. Ngomong-ngomong soal naskah, salah satu yang bikin Black Panther seru dinikmati adalah banyaknya karakter-karakter yang memesona dengan penggambaran multi dimensional. Sebagai seorang pemimpin, T’Challa gak semerta-merta sempurna dan selalu tahu apa yang harus dia lakukan. Bingung, ragu, sampai kesengsem sama perempuan merupakan aspek-aspek vulnerability yang digambarkan dimiliki oleh T’Challa. Belum lagi Chadwick Boseman berhasil betul membawakan aspek-aspek tersebut tanpa kehilangan kharisma dan kesederhanaan dari seorang pemimpin. Gue suka banget adegan pas T’Challa jalan-jalan di tengah kota sama love interest-nya Nakia (Lupita Nyong’o). Momennya singkat tapi powerful. Disitu kita disuguhi seorang T’Challa yang lagi let loose dan cengar-cengir tulus sambil ngobrol sama Nakia. I mean, he’s a king! Kapan lagi bisa lihat raja digambarkan dengan sangat manusiawi dan membumi? Sebagai counterpart-nya di adegan tersebut, Lupita Nyong’o juga lihai menyaingi akting prima Chadwick Boseman yang membuat chemistry mereka terasa sampai ke kursi penonton. Keberanian film Black Panther dalam menunjukkan sisi manusia karakternya inilah yang bikin filmnya beda dari film superhero lain dan patut diacungi jempol. Masih soal karakter, ada tiga sosok lain yang juga gak kalah memorable disini. Pertama ada Okoye yang boleh dibilang merupakan panglima utama si Black Panther. Diperankan oleh Danai Gurira (terkenal atas perannya sebagai Michone di serial The Walking Dead), Okoye sangat kuat dan mematikan saat melawan musuh-musuhnya. Namun, saat lagi gak megang tombak Okoye terlihat hangat dan kalimat yang keluar dari mulutnya gak jarang mengundang tawa. Okoye juga digambarkan luar biasa loyal terhadap Wakanda. Kalau di dunia nyata, Okoye pasti jadi langganan employee of the month saking berdedikasinya sama perusahaan. Selanjutnya ada Shuri yang merupakan adik T’Challa sekaligus technology advisor di Wakanda. Tokohnya diperankan oleh Letitia Wright dan otaknya encer banget. Meskipun jenius, Shuri punya sifat yang nyeleneh dan super santai. Tapi, justru disitu letak pesona karakter ini. Seringkali jadi penyegar di tiap adegan yang melibatkan dirinya, Letitia Wright berhasil menjadi scene-stealer yang bikin kualitas Black Panther naik kelas. Terakhir, ada Erik Killmonger yang jadi lawan utama T’Challa. Michael B. Jordan sukses membuat karakter Erik Killmonger berbahaya namun berkharisma. Berkat kharismanya yang membius, banyak banget IG stories temen-temen gue yang cewek pada bahas Michael B. Jordan selepas nonton filmnya. Kalau Erik Killmonger punya Instagram, pasti dia bakalan bikin geng KPK (Kelompok Penjahat Kece) barengan Loki dan pasti sering di-endorse karena followers-nya banyak. Gak hanya itu, Black Panther juga didukung koreografi, musik, production design, art direction, makeup & hairstyling dan costume design yang ciamik. Khusus dua yang terakhir sangat patut diberikan apresiasi lebih karena tata rias, rambut, dan kostum-kostum yang ditampilkan benar-benar menawan dan memanjakan mata. Modern namun mengandung cita rasa tradisional yang kuat. Meskipun masih terlalu early, gak berlebihan rasanya kalau Ruth Carter sang costume designer dan orang-orang di tim make-up & hairstyling film ini jadi front-runners nominasi Oscar tahun depan untuk kategori Best Costume Design dan Best Makeup and Hairstyling, respectively. Pujian terakhir yang gue berikan untuk film ini adalah keberhasilannya menampilkan sosok super hero yang tidak dominan. Gak ada yang salah dengan sosok super hero yang dominan, kayak Iron Man dan Captain America karena kemampuan dan tidak jarang situasi menempatkan mereka front and center. Tapi, cara penyampaian film ini yang tidak mengeksploitasi sang Black Panther habis-habisan membawa angin segar di ranah film super hero. Film ini gak malu-malu kasih porsi lebih ke Nakia, Okoye dan Shuri untuk ikut berpartisipasi dalam membela Wakanda. Karakter mereka juga punya kesamaan, yaitu sama-sama wanita kuat yang aktif memberikan kontribusi tanpa menunggu disuruh dulu. Saking gak dominannya T’Challa, gue melihat film ini lebih ke arah ensemble ketimbang film Black Panther-nya sendiri. And that’s a good thing. Last but not least, film ini tentunya juga gak sempurna. Salah satu hal yang sampai saat ini masih gue perdebatkan adalah kenapa Erik Killmonger memilih buat bekerja sama dengan Ulysses Klaue (Andy Serkis). Gue sempat berpikir alesannya adalah demi akses ke Wakanda, tapi kayaknya bukan itu deh kalau melihat alur berjalannya film. Gue yakin ada penjelasan detail di balik keputusan Erik mengingat dia adalah orang yang strategic. Namun, kemungkinan karena alasan durasi hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit di filmnya.
Ada satu lagi yang cukup mengusik gue, yakni adegan Nakia menyelamatkan tawanan human trafficking di awal film. Pada adegan tersebut diceritakan Nakia dan kawan-kawan berhasil menuntaskan si penjahat. Setelahnya, para tawanan yang semuanya wanita disuruh pulang sendiri dan itu setting-nya malam-malam buta di tengah hutan. Hmm… bukannya sama bahayanya ya nyuruh mereka pulang unsupervised? Ini malah jadi keluar lubang buaya masuk kandang macan gak sih? Gue berusaha positive thinking dengan bergumam dalam hati “Oh, mungkin tawanan tersebut udah hapal betul rute pulang yang aman gimana. Lagian rame-rame juga pulangnya…”. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah kekurangan-kekurangan tersebut terhitung minor dan sama sekali tidak menyakiti kualitas filmnya secara signifikan. Kesimpulannya, Black Panther menghadirkan adaptasi komik yang belieavable, seru dan meninggalkan kesan. Dipadati dengan karakter yang memikat, Black Panther berhasil masuk ke jajaran film terbaik Marvel Cinematic Universe. Kehadiran film ini membuat film-film Marvel selanjutnya (dan film-film serupa saingannya) harus bekerja lebih keras untuk menandingi pencapaian Black Panther. Wakanda Forever! SKOR : 4/5 |
Archives
July 2018
Categories
All
AuthorA self-acclaimed movie guy who likes to socialize |