Sociable Movie Guy
REVIEWS
HARI-HARI TERAKHIR VINCENT VAN GOGH YANG MENYENTUH DAN MENYAYAT HATI Kalau di review sebelumnya yang dibahas adalah peristiwa penting dunia, kali ini tokoh dunia yang kebagian giliran. Yep, kisah tokoh dunia juga merupakan salah satu materi favorit untuk difilmkan. Mulai dari cerita tokoh politik, olahraga, dunia hiburan hingga seni sering wara-wiri di layar perak. Salah satu yang teranyar adalah ‘Loving Vincent’ yang menyoroti hari-hari terakhir pelukis asal Belanda, Vincent van Gogh, sebelum beliau meninggal dunia. Uniknya, film ini berformat animasi yang seluruhnya dibuat dari lukisan cat minyak hand-painted! Walaupun judulnya ‘Loving Vincent’, tokoh utama di film ini justru bukan Vincent van Gogh. Penggerak cerita di film ini adalah Armand Roulin (Douglas Booth), anak petinggi Kantor Pos Joseph Roulin (Chris O’Dowd) di daerah Arles, Perancis. Selama menetap disana, Vincent (Robert Gulaczyk) rutin mengirimkan surat kepada adiknya Theo van Gogh (Cezary Lukaszewicz). Saking seringnya ngirim surat, Vincent dan Joseph jadi berteman. Setahun setelah kepergian Vincent, Joseph meminta Armand untuk mengantarkan surat terakhir Vincent yang dialamatkan kepada adiknya. Secara enggan, Armand pun akhirnya mengabulkan permintaan ayahnya dan memulai perjalanan mengantarkan surat tersebut. Berhasilkah Armand menyampaikan surat tersebut kepada yang berhak menerimanya? Story-wise, gak ada yang spesial sama film ini. Ceritanya sederhana dan penuturannya pun gak rumit walaupun karakter yang ditampilkan cukup banyak. Tetapi, kesederhanaannya itulah yang semakin membuat filmnya menawan. Tone cerita ‘Loving Vincent’ terasa down-to-earth dan hangat, selaras dengan aura yang dipancarkan Vincent van Gogh sepanjang filmnya. Gak cuma itu, filmnya juga sukses memancing perasaan haru penonton dengan cara yang jauh dari kata eksploitatif. Naskah filmnya ditulis oleh Jacek Dehnel, Dorota Kobiela dan Hugh Welchman dimana dua nama terakhir juga berperan sebagai sutradara. Keduanya sukses mengarahkan film ini dengan sensitivitas yang luar biasa. Mereka menunjukkan bahwa mereka paham betul akan sosok yang mereka angkat dan melakukan penghormatan dengan cara yang pantas. Tidak ada yang terasa berlebihan atau dipaksakan di film ini. Semuanya disajikan dengan pas dan seiring berjalannya durasi ceritanya pun semakin menarik untuk diikuti. Film ini juga sukses membuat gue, yang sama sekali awam tentang Vincent van Gogh, jadi penasaran sama sosoknya. Bahkan bukan cuma penasaran, tapi juga jadi peduli dengan apa yang Vincent alami. Vincent digambarkan sebagai sosok yang misterius (bukan misterius serem ya, tapi misterius yang kompleks dan tidak banyak bicara tentang dirinya sendiri) dan cenderung eksentrik. Sayangnya, lingkungan sekitarnya gak mampu memahami dirinya dan hal itu membuat Vincent merasa menjadi outsider. Karakteristik yang dimilikinya dianggap terlalu aneh sama orang-orang disekitarnya. Gue yakin, setiap orang di dalam suatu fase dalam hidupnya pasti pernah merasakan hal yang sama seperti Vincent. Those times when you feel you don’t belong to your surroundings and feel no one gets you? Trust me, I know how suck it is. Dengan kata lain, film ini terasa relatable dan hal itu membuat filmnya semakin heartfelt. Dari segi pengisi suara, ‘Loving Vincent’ diberkahi dengan aktor-aktris yang berbakat. Saoirse Ronan (current Best Actress Oscar-nominee for the amazing Lady Bird) bahkan turut andil di film ini! Ronan cuma muncul sebentar sebagai Marguerite Gachet tapi karakternya berhasil menambah aspek ambiguitas film ini. Ngomong-ngomong soal ambiguitas, film ini sedari awal kental akan unsur tersebut dimana penonton akan disuguhkan beragam spekulasi tentang apa yang sebenarnya menyebabkan kematian Vincent. Tapi, jangan berharap kalau jawaban jernih akan kalian dapatkan saat filmnya berakhir. Aspek ambiguitasnya benar-benar terjaga hingga akhir film dan gue senang akan hal tersebut. Kenapa? Karena tujuan awal film ini memang bukan mengungkap penyebab kematian Vincent, melainkan menghadirkan sosok Vincent yang one-of-a-kind dari berbagai macam perspektif. Ohiya, walaupun Ronan ada di film ini dan gue saat ini sedang kepincut habis-habisan sama doi thanks to her spectular performance in Lady Bird, yang menjadi scene-stealer di ‘Loving Vincent’ adalah Eleanor Tomlinson. Berperan sebagai Adeline Ravoux, karakternya yang ceria menjadi magnet tersendiri bagi yang menonton. Tomlinson meminjamkan suaranya yang bernada enthusiastic ke dalam diri Adeline dan berhasil memberikan penampilan yang memorable. Membahas ‘Loving Vincent’ tanpa menyinggung aspek teknisnya rasanya bagaikan makan mie instan tanpa telor. Gak afdol dan terasa hampa (?). Film ini benar-benar mengusung konsep gotong-royong karena kurang lebih dibutuhkan 65.000 lukisan dari 125 pelukis untuk keseluruhan filmnya! Estetikanya kelas wahid, guratan cat minyak warna-warni silih berganti memberikan asupan ‘gizi’ bagi mata para penonton. Gak kebayang deh dedikasi yang diberikan oleh seluruh tim sampai film ini siap tayang di bioskop. Bravo! Kalau nanti kalian nonton ‘Loving Vincent’, jangan buru-buru kabur saat lampu bioskop mulai menyala. Salah satu momen terkuat filmnya justru hadir saat closing credits-nya bergulir. Lagu remake Starry-Starry Night (versi aslinya dinyanyikan oleh Don McLean) hadir mengiringi closing credits-nya dan efek emosionalnya luar biasa. Dibawakan oleh suara merdu nan soulful Lianne La Havas, lagu ini menjadi penutup sempurna yang sukses membuat gue merinding saking powerful-nya. Believe it or not, saat gue nonton ‘Loving Vincent’ di bioskop, gak ada satu orang pun yang beranjak dari kursinya sebelum lagunya selesai diputar. Jika kalian menyaksikan ini dan tidak merasakan apapun, segera periksakan diri kalian ke dokter untuk dicek kalian beneran manusia atau bukan. ‘Loving Vincent’ tentu hadir bukan tanpa kelemahan. Pace cerita dalam film terasa goyah pada beberapa bagiannya. Bagian-bagian tersebut terkesan diburu-buru sehingga berpotensi membuat penonton tidak keep-up dengan ceritanya. Bagian yang dimaksud adalah saat awal film dan saat penjelasan mengenai insiden yang membuat Vincent diusir dari Arles. Untungnya, kecepatan penuturan film ini berangsur-angsur membaik pada paruh kedua dan ketiga filmnya.
All in all, ‘Loving Vincent’ adalah tribute bagi Vincent van Gogh yang dilantunkan secara indah. Didukung dengan animasi yang memanjakan mata, film ini akan membuat kalian kagum, sedih sekaligus terharu. Untuk yang gampang nangis, jangan lupa siapkan (berlembar-lembar) tisu ya! SKOR :4/5
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2018
Categories
All
AuthorA self-acclaimed movie guy who likes to socialize |