Sociable Movie Guy
REVIEWS
ROMANSA MANIS DAN MEMABUKKAN SI BUJANG LAPUK Ah… Cinta. Kalau ngomongin hal yang satu ini kayaknya gak ada habisnya ya. Katanya sih, semua orang butuh cinta. Cinta juga disebut banyak bentuknya dan gak melulu soal pacaran. Cinta sama pekerjaan misalnya. Atau cinta dengan orang tua. Khusus cinta sama pasangan, kalian ngerasa gak sih kalau jenis cinta tersebut dipengaruhi banget oleh konstruksi sosial? Contohnya karakteristik pasangan ideal dan kapan cinta tersebut harus disahkan ke dalam sebuah pernikahan yang sering dikaitkan dengan usia tertentu. Padahal, setiap orang kan beda-beda ya dan gak ada rumus pasti yang menyatakan pasangan serta usia ideal buat nikah itu seperti apa. Kemudian, yang paling penting, hubungan ceramah ini dengan film yang mau gue review apa? Gak ada sih. Oke, lanjut ke ‘Love for Sale’. Richard (Gading Marten) adalah seorang pengusaha percetakan yang masih betah sendiri meskipun usianya sudah menginjak kepala empat. Richard juga sangat disiplin soal waktu. Doi paling marah kalau karyawannya ada yang terlambat datang atau makan siang kelamaan. Sehari-hari, interaksinya dengan sesama manusia boleh dibilang seadanya saja. Adalah Kelun yang hadir menjadi sahabatnya, seekor kura-kura berusia 17 tahun yang setia menemani Richard nonton bola sampai ketiduran. Zona nyaman Richard akhirnya terusik saat salah satu dari kawan nobar bolanya akan menikah. Mereka bertaruh kalau Richard pasti akan datang sendiri, seperti biasanya, ke pernikahan tersebut. Merasa tertantang dengan taruhan kawan-kawannya, Richard melancarkan segala cara untuk mencari teman kencan. Titik terang mulai terlihat saat ia iseng mencoba aplikasi cari jodoh yang bernama Love Inc. Arini (Della Dartyan) kemudian hadir di depan pintunya sesuai ‘pesanan’. Yang tidak Richard ketahui, momen dimana ia membukakan pintu untuk Arini adalah saat dimana hidupnya akan berubah. Selamanya. Tema ‘jomblo mencari cinta’ boleh dibilang adalah tema yang pasaran dan sudah diangkat di berbagai medium. ‘Love for Sale’ mencoba mengangkat tema tersebut dengan menyelipkan sophistication dan quirkiness a la Spike Jonze. Bukan bermaksud membandingkan, namun memang yang pertama kali terbersit ketika menonton film ini adalah film ‘Her’-nya Spike Jonze yang tayang tahun 2013. Bagusnya, film ini berhasil berdiri dengan DNA-nya sendiri thanks to penyutradaraan Andibachtiar Yusuf yang grounded. Sebagai sutradara sekaligus penulis film ‘Love for Sale’, sosok yang biasa dipanggil Ucup ini menebarkan jejak kakinya dimana-mana. Ucup merupakan penggemar berat sepak bola dan karya-karyanya sebelum ‘Love for Sale’ juga banyak yang berkutat dengan dunia sepak bola. Salah satu filmnya yang bertemakan sepak bola, ‘The Conductors’, berhasil memenangkan Piala Citra kategori Film Dokumenter Terbaik pada tahun 2008. Gak heran kalau ‘Love for Sale’ juga penuh akan referensi sepak bola, mulai dari hobi karakter utamanya hingga lelucon yang disampaikan di film ini banyak yang berkaitan dengan sepak bola. Tangan dinginnya juga berhasil membuat ‘Love for Sale’ menjadi tontonan yang tidak menggurui namun tetap relatable. Naskah yang ditulisnya bersama M. Irfan Ramly dipenuhi oleh sindiran-sindiran yang kocak dan menyentil. Sementara dari segi penuturan cerita, ‘Love for Sale’ terhitung lancar walaupun sempat tersendat di paruh awal filmnya. Sisi teknis film ini juga tergarap dengan baik, terutama set decoration-nya. Tempat tinggal dan kantor percetakan Richard diperlihatkan berantakan dan sumpek seakan mencerminkan kehidupan pribadi Richard yang juga tidak terurus. Bergerak ke sisi akting, ‘Love for Sale’ dipadati dengan akting yang disampaikan secara pas oleh para pemainnya. Karakter pendukung di film ini banyak dan ada beberapa cameo juga. Dari seluruhnya, yang paling menonjol adalah karakter Panji (Verdi Solaiman) dan Pak Syamsul (Rukman Rosadi). Sebagai sahabat Richard, Panji adalah sosok yang gemar melontarkan kutipan religius dan nasihat meskipun tanpa diminta. Verdi Solaiman sukses membuat tokohnya mengena di ingatan biarpun porsi tampilnya minimalis. Cara doi memberikan penekanan pada dialognya cakep banget dan bikin penonton (baca: gue) terdorong untuk melakukan introspeksi pada kehidupan mereka. Kemudian ada Pak Syamsul, pegawai paling senior di percetakan milik Richard. Dialog beliau lebih sedikit dari Panji tapi setiap celetukan beliau selalu mengundang tawa dan bahkan rasa haru. Sekarang giliran departemen yang paling menonjol di film ini, yaitu departemen pemeran utama. Gading Marten jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan pertamanya menjadi pemeran utama di sebuah film. Meskipun masih terasa kurang saat akting galak, Gading mampu memberikan penampilan menyentuh di momen-momen yang menunjukkan kerapuhan Richard. Kepribadiannya yang nyeleneh (seenggaknya yang diperlihatkan di televisi) turut ditampilkan di sini dan semakin menambah dimensi karakter Richard. Namun, sepertinya Gading harus rela memberikan mahkota akting terbaik di film ini kepada lawan mainnya, Della Dartyan. Sejak menit pertama kemunculannya di film ini, Della terus memberkahi penonton dengan pancaran auranya yang begitu membius seakan menembus layar. Gak cuma parasnya yang cantik, Della juga berhasil menampilkan bahasa tubuh dan sensualitas yang luar biasa pas dengan karakteristik tokohnya. Sepintas, karakter Arini yang diperankannya terasa one-dimensional. Tetapi, itu semua memang sengaja sesuai dengan penokohan yang diberikan kepadanya di film ini. Twist yang muncul menuju akhir filmnya akan menjawab mengapa karakter Arini terkesan kurang dieksplor. Ngomong-ngomong soal twist, film ini sebenarnya sedari awal sudah melempar benih-benih petunjuk yang mengisyaratkan there’s something else about Arini. Gue tidak akan membocorkan detailnya, namun gue mau memberikan pujian kepada film ini atas keberaniannya untuk menyertakan twist tersebut. Meskipun muncul di belakang, twist di film ini menjadi katalis yang membuat kualitas ‘Love for Sale’ naik kelas. Keputusan film ini untuk tidak memberikan penjelasan lebih mengenai twist-nya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Film ini tentu juga memiliki beberapa kelemahan. Entah mengapa, gue merasa reaksi Richard saat twist di film ini muncul terlampau datar. Bisa jadi Richard digambarkan sama-sama bingung dan clueless layaknya penonton yang menyaksikan kisahnya. Tapi... sepertinya akan lebih nendang kalau Richard digambarkan mengalami some sort of meltdown yang pastinya akan semakin menambah lapisan karakternya. Masih seputar hal ini, gue juga merasa Richard melewati upaya-upaya yang seharusnya obvious untuk memahami twist tersebut. Contohnya, Richard gak terlihat mengecek aplikasi Love Inc sama sekali saat twist tersebut muncul atau at least nelpon balik customer service yang menghubunginya di awal. Jika diibaratkan kurang lebih jadinya seperti ini: Richard mengalami luka sayat di jarinya dan langsung memilih untuk ke rumah sakit tanpa memberikan pertolongan pertama dahulu ke lukanya tersebut. Meskipun begitu, kelemahan-kelemahan ini berhasil ditutupi dengan aspek-aspek positif lain yang dimiliki ‘Love for Sale’. Kesimpulannya, ‘Love for Sale’ adalah drama romantis yang berani, menggoda dan memesona. Penampilan memukau dari Della Dartyan seharusnya sudah lebih dari cukup untuk kalian jadikan alasan menonton filmnya di bioskop. Segera beli tiketnya sebelum filmnya turun layar! SKOR : 3.5/5
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2018
Categories
All
AuthorA self-acclaimed movie guy who likes to socialize |