Sociable Movie Guy
REVIEWS
KETIKA KELUARGA DI ATAS SEGALANYA Tahun ini, Marvel Studios dan Disney telah merilis tiga judul film. Black Panther singgah di layar lebar bulan Februari lalu sebagai pembuka. Kemudian, Avengers: Infinity War menjadi hidangan utama pada bulan April kemarin. Kini, Ant-Man and the Wasp hadir selaku sajian penutup. Berbeda dengan Black Panther dan Infinity War, sekuel Ant-Man ini hadir dalam lingkup yang lebih sederhana. Lantas, bagaimanakah hasil filmnya? Ceritanya berlatar waktu dua tahun setelah peristiwa di film Captain America: Civil War (2016). Pertengkaran ideologi -dan juga fisik- antara Iron Man dengan Captain America berakibat buruk bagi Scott Lang alias Ant-Man (Paul Rudd). Kini, ia menjadi tahanan rumah karena dianggap bersekutu dengan Steve Rogers dan hal tersebut melanggar Perjanjian Sokovia. Menjelang kebebasannya, Scott malah diajak Hope van Dyne (Evangeline Lilly) dan Hank Pym (Michael Douglas) untuk ikut dalam suatu misi penting. Jika ditanya apa yang menjadi ciri khas film Ant-Man, jawabannya adalah kesederhanaan. Hal tersebut seakan disesuaikan dengan kepribadian Scott yang juga tidak neko-neko. Apabila dibandingkan dengan rekan sejawatnya, sebut saja Tony Stark, Steve Rogers, dan Thor yang lekat dengan gambaran pria alfa (alpha male), Scott lebih merangkul citra pria santai yang menyenangkan diajak berteman. Para penulis naskah film ini sepertinya sadar betul akan nuansa Ant-Man yang membumi. Buktinya, penyajian cerita tidak pernah terasa berlebihan meski pun risiko yang dihadapi para karakternya naik tingkat. Hasilnya adalah sebuah narasi seru yang nyaman diikuti dari awal hingga akhir. Film ini juga melontarkan pesan kental akan pentingnya keluarga. Seluruh motivasi Scott, Hope dan Hank didasarkan pada rasa cinta mereka terhadap keluarga. Scott hanya ingin bersama putrinya, Cassie (Abby Ryder Fortson), sesering yang ia bisa. Sementara Hank berusaha sekuat tenaga untuk menebus rasa bersalahnya sekaligus membuat keluarganya utuh kembali. Konflik menarik muncul dari benturan motivasi-motivasi tersebut dan menghasilkan pesan mengena tanpa terasa menggurui. Layaknya film lain dalam Marvel Cinematic Universe (MCU), Ant-Man and the Wasp aktif melemparkan lelucon jenaka. Mayoritas humor dalam film ini datang melalui interaksi para pemainnya. Hampir semua karakter mendapatkan porsi dialog yang mengundang tawa. Namun, jika harus memilih tokoh terlucu, maka juaranya adalah Luis (Michael Pena). Kalau kamu sudah menonton film pertamanya, kamu pasti ingat cara Luis menceritakan ulang peristiwa dengan kecepatan penuh dimana ia menyulihsuarakan tokoh-tokoh yang terlibat. Di sini, ia melakukan hal yang sama namun hasilnya dua kali lebih lucu. Humor-humor lainnya juga tidak kalah menghibur dengan penempatan yang tepat sasaran. Karakter-karakter baru banyak bermunculan di film ini. Karakter-karakter lama pun hampir semua kembali lagi. Hal ini menimbulkan ancaman pada narasi karena dikhawatirkan akan berakhir terlalu sumpek. Untungnya, seluruh karakter yang ada tampil dengan jatah yang sesuai. Dengan begitu, film sukses mendapatkan kepercayaan penonton bahwa semua tokoh hadir sejalan dengan keperluan cerita. Kredit berhak disematkan pada sutradara dan para penulis naskah atas keberhasilan tersebut. Ant-Man and the Wasp patut bersyukur karena semua karakternya dimainkan oleh pelakon berbakat. Sepanjang filmnya, Paul Rudd memancarkan karisma kuat yang mustahil ditolak. Evangeline Lilly pun mengimbanginya tanpa beban. Artis peran lawas Michael Douglas dan Michelle Pfeiffer juga membuktikan kepada para juniornya bahwa mereka masih sangat pantas diperhitungkan. Tidak ketinggalan Randall Park yang mencuri perhatian atas perannya sebagai Jimmy Woo, seorang agen FBI kocak namun berdedikasi tinggi. Sisanya tampil dengan kapasitas yang pantas. Sekuel ini tentu membawa serta beberapa kekurangan. Salah satunya adalah tangkapan gambar di paruh awal film yang terlihat kurang tajam. Entah disengaja atau tidak, gambar-gambar dengan nuansa temaram tersebut tidak begitu jelas tersaji di layar. Memasuki paruh kedua, saat mayoritas adegan di luar ruangan, barulah gambar hadir dengan ketajaman yang mumpuni.
Selain itu, adegan saat Hope membawa kabur Scott dari rumahnya menimbulkan pertanyaan tersendiri. Bagaimana cara Hope melepas alat deteksi di kaki Scott? Pasalnya, adegan sebelumnya menunjukkan bahwa Scott harus membungkus alat tersebut dengan plastik agar tidak basah saat ia berendam. Kalau alat deteksi bisa dengan mudahnya dilepas, untuk apa Scott bersusah payah melindungi alat deteksinya saat mandi? Ia bisa melepasnya saja, kan? Untungnya, kekurangan-kekurangan tersebut masih terbilang wajar dan tidak mengganggu penuturan cerita. Kesimpulannya, Ant-Man and the Wasp sukses mencapai hal yang jarang diraih sebuah sekuel: tampil lebih baik dari film pertamanya. Layaknya pencuci mulut, film ini hadir dengan manis sebagai penutup seluruh hidangan Marvel Cinematic Universe tahun ini. Tidak cuma menawarkan aksi, Ant-Man namun juga memiliki hati. Imbasnya, menonton film ini akan membuatmu teringat orang-orang tersayang, khususnya keluarga. Sebagai tambahan, jangan buru-buru beranjak saat filmnya berakhir karena ada dua potongan adegan (post-credit scenes) yang rasanya sayang jika dilewatkan. Skor: 4/5
0 Comments
PENUH HUMOR TENGIL NAMUN KURANG KEPADUAN NARASI Dua tahun lalu, jagad perfilman super hero dunia dikejutkan dengan kehadiran sosok pahlawan -atau dalam konteks Deadpool lebih cocok disebut anti hero- yang menentang stereotip. Kalau biasanya pembela kebenaran memiliki perilaku yang santun, serius dan patut dijadikan contoh, Deadpool dengan bangga mempertontonkan antonimnya. Gemar berkata kasar, beraksi konyol dan bahkan bertingkah manja, Deadpool berhasil mengerat hati penonton sehingga filmnya meraih sukses secara komersial serta menuai pujian dari kritikus. Dilansir dari Box Office Mojo, Deadpool mendapatkan total pemasukan senilai 783 juta US Dollar dari pemutarannya di seluruh dunia. Entertainment Weekly turut melaporkan bahwa prestasi Deadpool tersebut menjadikannya film dengan rating R (dewasa) yang meraih pendapatan tertinggi sepanjang masa. Tak ayal, sekuelnya pun mendapatkan lampu hijau untuk diproduksi dan kini Deadpool 2 sudah bisa dinikmati di bioskop langganan kalian. Film keduanya ini memfokuskan cerita kepada upaya Wade Wilson alias Deadpool (Ryan Reynolds) dalam mencegah aksi Cable (Josh Brolin) yang datang dari masa depan membawa misi tersendiri. Deadpool tentu tidak sendirian dalam melancarkan aksinya, melainkan ditemani oleh rekan-rekannya yang lain. Tidak hanya Negasonic Teenage Warhead (Brianna Hildebrand) dan Colossus (Stefan Kapicic), sekuel ini juga menghadirkan karakter-karakter baru seperti Domino (Zazie Beetz), Zeitgeist (Bill Skarsgaard), Bedlam (Terry Crews), Shatterstar (Lewis Tan), dan Peter (Rob Delaney) . Dengan kekonyolan tingkat ahli dan segerombolan teman baru, akankah Deadpool berhasil mencapai tujuannya? Di atas kertas, Deadpool 2 memiliki lingkup cerita yang lebih ambisius. Konsep time-travel dilibatkan dan tokoh-tokoh baru pun ditambahkan. Lantas, seberapa signifikan pengaruh hal-hal tersebut terhadap kualitas Deadpool 2? Sayangnya, tidak banyak. Meskipun tampil lebih menghibur dari pendahulunya, Deadpool 2 gagal dalam menyajikan jalinan cerita yang mengena dan malah terkesan repetitif serta tidak kohesif. Bagaimana bisa? Well, sebelum membahas kelemahan Deadpool 2 lebih lanjut ada baiknya kita selami dulu aspek-aspek positif yang membuat film ini masih pantas ditonton. Here we go! Jika ditanya apa yang menjadi jualan utama karakter Deadpool, jawabannya adalah rasa humornya. Setidaknya, itu yang diri ini rasakan saat menonton Deadpool 2. Pasalnya, film ini benar-benar tidak kenal ampun dalam memborbardir penonton dengan banyolan tengil dan sindiran menyentil dari menit awal hingga terakhir. Hasilnya adalah sajian komedi yang tajam, berani dan sering menciptakan gemuruh tawa dari para penonton. Lelucon-lelucon yang dilemparkan di dalam Deadpool 2 tentu tidak muncul dengan sendirinya. Para penulis naskah bertanggung jawab akan hal tersebut dan mereka bekerja dengan baik dalam menciptakan amunisi terkuat film ini. Ternyata, bukan hanya Rhett Reese dan Paul Wernick yang menjadi penulis skripnya (mereka berdua juga merupakan penulis film pertamanya) namun Ryan Reynolds ikut pula dalam membentuk naskahnya. Sepertinya Ryan Reynolds bisa mempertimbangkan ranah stand-up comedy sebagai rencana cadangan kariernya kelak. Because nobody knows, right? Ngomong-ngomong soal Ryan Reynolds, dirinya membawa beban cukup berat karena kesuksesan Deadpool dua tahun silam membuat apa-apa yang terkait Deadpool kini bersinonim dengan namanya. Untungnya, bakat Ryan tidak terbantahkan dan dirinya terlihat semakin nyaman memerankan sosok berkostum merah-hitam tersebut. Film ini juga memberikan kesempatan kepada Ryan untuk menunjukkan sisi rapuh Wade Wilson. Meskipun hanya sedikit, namun adegan yang memamerkan vulnerability Wade tersebut adalah salah satu momen terbaik filmnya. Adegan tersebut terjadi hampir di penghujung film dan melibatkan kekasihnya, Vanessa (Morena Baccarin). Chemistry keduanya jempolan sekali! Masih dari departemen akting, Deadpool 2 dianugerahi karakter baru yang sukses mencuri perhatian. Karakter tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Domino (Zazie Beetz). Sikapnya yang cuek sangat pas bersanding dengan kekuatan supernya yang membuat dirinya selalu hoki. I mean, siapa yang tidak akan bersikap masa bodo kalau mengetahui dirinya selalu beruntung? Meskipun tergolong aktris pendatang baru, Zazie terlihat sangat luwes memerankan Domino dan berhasil menyegarkan layar di setiap kemunculannya. Jika ke depannya ada Deadpool 3, porsi tampil Domino wajib ditingkatkan! Kehadiran Domino juga semakin mengokohkan status franchise Deadpool sebagai “sarang”nya karakter-karakter yang melawan ekspektasi sosial. Pernah lihat pahlawan wanita dengan rambut afro dan bulu ketiak yang dibiarkan tumbuh seperti Domino? Atau sosok bertubuh baja namun berhati selembut sutra layaknya Colossus? Bagaimana dengan tokoh maskulin seperti Deadpool yang doyan bersikap lenjeh dan mahir menggunakan sepatu hak tinggi? Keseluruhan penggambaran tersebut membuat Deadpool 2, meskipun awalnya akan terasa aneh, menjadi lebih realistis dan lebih representatif. Come on, mutan juga manusia dan manusia sudah pasti kompleks alias tidak sesederhana hitam-putih, kan? Sebelumnya sempat dibahas kalau jokes Deadpool yang khas merupakan senjata pamungkasnya. Sayangnya, saking fokusnya film ini terhadap hal tersebut, Deadpool 2 memberi kesan bahwa filmnya hanyalah vehicle atau sarana bagi para penulis naskahnya untuk melontarkan beragam lelucon ke bermacam target. Mulai dari film kompetitor, film lawas hingga film ini sendiri tidak luput dari sasaran mereka. Untuk yang terakhir, film ini tidak malu-malu menyinggung penulisan ceritanya yang dicap malas atau sebagaimana Deadpool menyebutnya: lazy writing. Gue harus setuju akan hal tersebut. Soalnya, jika diperhatikan baik-baik, formula dan gimmick penceritaan film ini begitu mirip dengan film pertamanya. Pertama, kedua film sama-sama diawali dengan adegan maju-mundur. Keduanya dibuka dengan suatu adegan yang kemudian dijelaskan dengan cara flashback. Kedua, Vanessa sama-sama menjadi motivasi atas tindak-tanduk Deadpool. Ketiga, ingat lelucon tangan Deadpool yang tumbuh kembali di film pertama? Film keduanya ini kembali menggunakan guyonan macam itu. Keempat, Negasonic Teenage Warhead dan Colossus tidak ubahnya menjadi sosok yang seakan-akan eksis hanya untuk membantu Deadpool layaknya di film pertama. Sebenarnya, masih ada beberapa lagi namun berbahaya jika diungkapkan di sini karena berpotensi menjadi spoiler. Kesamaan-kesamaan tersebut membuat Deadpool 2 bagaikan berjalan di tempat. Ditambah lagi, pengembangan karakter Deadpool terkesan setengah-setengah dan karakter pendukung lain pun tidak terlihat perkembangannya. Film ini sepertinya ingin memberikan pelajaran mengenai arti keluarga untuk Deadpool. Namun, niat baik itu tertutupi dengan kegilaan tiada henti yang tanpa disadari membatasi ruang bagi karakter Deadpool untuk berkembang. Walaupun begitu, yang paling parah terkena dampaknya adalah duo Negasonic Teenage Warhead dan Colossus. Dua film berlalu, penonton tidak akan tahu lebih banyak tentang Negasonic dan Colossus saat melangkahkan kaki ke luar bioskop. Well, sesungguhnya ada sesuatu yang baru terkait Negasonic namun hal tersebut tidak digali lebih dalam dan hanya menjadi tempelan belaka. Membahas film adaptasi komik rasanya tidak lengkap tanpa menyertakan villain-nya. Ialah Cable (Josh Brolin) yang bernama asli Nathan Summers yang digadang-gadang menjadi musuh utama film ini. Sebagai villain, Cable kurang memberikan dampak berarti terhadap filmnya. Karakterisasinya sama tipisnya dengan rekan-rekan karakter pendukung yang lain. Beruntung Cable dimainkan oleh Josh Brolin yang dari sananya sudah berkarisma (Josh juga memerankan Thanos yang jauh lebih meninggalkan kesan di Infinity War). Jika yang memerankannya aktor lain, Cable sudah pasti hanya akan menjadi tokoh yang sekedar lewat saja.
Terakhir, Deadpool 2 sayangnya juga gagal menjadikan filmnya menjadi satu kesatuan yang padu. Dari perspektif cerita, antara satu adegan dengan yang lainnya terasa disatukan seadanya saja. Apabila franchise ini akan berumur panjang, semoga ke depannya pihak studio dapat memberikan perhatian lebih kepada naskahnya. Apa artinya film yang memiliki antisipasi kuat jika pada akhirnya narasinya loyo? Kesimpulannya, Deadpool 2 terasa seperti serangkaian lelucon yang dijahit menjadi suatu film. Hal tersebut menyebabkan filmnya terkesan fragmented alias terpecah-pecah. Singkatnya, film ini seakan menjunjung paham jokes over substance: hanya guyonan, (hampir) tanpa isi. Jika boleh saran, untuk yang belum nonton, silakan sesuaikan ekspektasi saat melangkahkan kaki ke bioskop. Tidak usah pula menganggap serius apa pun yang disajikan oleh film ini. Dengan begitu, kalian seharusnya bisa menikmati Deadpool 2 dengan lebih optimal. Sementara untuk post-credit scene sendiri ditampilkan cukup awal jadi kalian tidak perlu menunggu sampai closing credits-nya benar-benar habis. SKOR: 3/5 KISAH PENUH PATHOS DALAM PERJUANGAN MELAWAN THANOSAkhirnya, setelah 10 tahun mengenalkan dan mengembangkan karakter para pahlawannya, Marvel sampai di tahap yang paling ambisius: menyatukan (hampir) seluruh super hero andalan mereka di dalam satu film. Biang penjahat yang selama ini hanya muncul sesekali pun akhirnya terpampang nyata di film ini. Skala besar yang ditawarkan ditambah popularitas Marvel yang kian mendominasi di ranah film serupa tentunya akan menghasilkan ekspektasi super tinggi dari para penonton. Lantas, apakah Marvel berhasil membalas ekspektasi para penggemarnya? Untungnya, jawabannya iya. Adegan pembuka ‘Avengers: Infinity War’ langsung menggeber penonton dengan menunjukkan betapa seriusnya Thanos (Josh Brolin, juga akan tampil sebagai musuh utama bernama Cable di ‘Deadpool 2’) dalam mengumpulkan enam batu bergelimang cahaya dan berkekuatan dahsyat, Infinity Stones. Thanos ternyata tidak sendirian, ia dibantu oleh empat sekawan yang disebut dengan Black Order. Mereka adalah Ebony Maw (Tom Vaughan-Lawlor), Proxima Midnight (Carrie Coon), Corvus Glaive (Michael James Shaw) dan Cull Obsidian (Terry Notary). Sifat mereka sama kejinya seperti Thanos dan masing-masing juga memiliki kemampuan super. Para avengers sukses dibikin repot oleh kekejaman Thanos dan dedengkotnya. Mereka yang awalnya terpisah-pisah dan bahkan tidak mengenal satu sama lain harus gotong royong demi mencegah Thanos mendapatkan semua Infinity Stones. Berhasilkah mereka? Jujur, gue pribadi berusaha memasang ekspektasi yang serendah mungkin tapi saking excited-nya akhirnya ekspektasinya meninggi sendiri (nahloh, gimana tuh?). Ini karena gue kapok dikecewakan ekspektasi terlampau tinggi saat nonton ‘Captain America: Civil War’ tahun 2016 silam. Sutradara filmnya sama seperti ‘Infinity War’, yakni Anthony dan Joe Russo alias Russo Bersaudara. Keduanya juga sama-sama memasang segambreng super hero di dalam satu film, meskipun yang satu skalanya lebih kecil dibandingkan yang satunya. Itulah mengapa gue sedikit ngeri film ini akan berakhir sama dengan ‘Civil War’ yang menurut opini gue kurang greget. Seakan menjawab keraguan gue, ‘Infinity War’ sukses membuat gue gregetan dari awal sampai akhir. Dikompori oleh rumor kurang ajar yang menyatakan si A, B, C bakal mati membuat pikiran gue jadi liar sendiri. Tiap ada adegan berantem, which is A LOT, gue selalu berpikiran “Duh, jangan-jangan doi yang tewas!” atau “Please, not this onee!”. Ternyata, hal tersebut justru membuat pengalaman menonton filmnya jadi lebih seru. Tapi, bukan berarti gue mendukung spoilers ya. Justru sebaliknya, gue bahkan berusaha sekuat tenaga menghindari yang namanya spoilers sebelum nonton filmnya. Cuma kayaknya spoilers lebih licin dan lihai sehingga ada aja secara gak sengaja gue stumbled upon articles etc that talk about ‘Infinity War’. Keseruan film ini juga disokong oleh naskah yang lancar jaya mengalirkan ceritanya. Karakternya seabrek tapi filmnya tidak pernah terasa sesak maupun overwhelming. Semua karakter mendapatkan porsinya masing-masing meskipun ada beberapa yang lebih besar dari yang lainnya. Namun, itu semua demi kepentingan cerita sehingga tidak terasa mengganggu. Cerita film ini juga bersedia menuturkan alasan dibalik misi Thanos. Alhasil, apa yang dilakukan Thanos tidak terasa acak dan penonton dibuat paham mengapa Thanos melancarkan aksinya tersebut. Film ini juga secara pintar menggambarkan Thanos sebagai karakter yang berlapis. Mereka melakukan hal tersebut dengan cara menunjukkan vulnerability Thanos yang jujur membuat gue kaget. I mean, keputusannya berani banget memperlihatkan sang gila kuasa di titik rapuhnya! Dengan begitu, Thanos berhasil menjelma menjadi salah satu villain Marvel Cinematic Universe (MCU) yang paling kompleks. Salut untuk para penulis naskah film ini! Bukan cuma itu, film ini juga memiliki pathos alias aspek emosional yang diam-diam menghanyutkan. Dibalik menggunungnya adegan aksi di dalam film ini, tidak sedikit yang akan memberikan penonton pukulan emosional. Hal ini menjadikan ‘Infinity War’ sebagai film aksi yang lebih berisi dan lebih mengena di hati. Pokoknya, kalau kalian mudah tersentuh jangan lupa siapkan tisu di kantong ya! Penyutradaraan Russo Bersaudara juga apik betul di film ini. Sepertinya mereka sudah belajar dari kekurangan ‘Civil War’ sehingga ‘Infinity War’ terasa lebih kokoh. Mereka berdua juga teramat berbakat dalam mengarahkan adegan aksi. Tidak ada adegan aksi di film ini yang tidak menegangkan. Semuanya seru dan punya pertaruhan sendiri, entah nyawa atau keselamatan umat manusia. Film pamungkas Marvel ini benar-benar berada di tangan yang tepat dimana Russo Bersaudara lebih dari mampu mengemas filmnya menjadi tontonan yang mengikat meskipun durasinya hampir 2.5 jam!
Dari departemen akting, semua pemainnya memberikan penampilan yang pas. Masing-masing terlihat sudah begitu nyaman memainkan karakter mereka. Namun, kalau harus memilih satu yang menonjol maka orang tersebut adalah Josh Brolin. Aktor yang telah mengantongi satu nominasi Oscar berkat perannya di film ‘Milk’ ini sangat piawai mewujudkan kompleksitas Thanos di layar perak. Dibandingkan rekan-rekannya yang lain, akting Josh terbilang terbatas karena Thanos adalah karakter yang penuh efek CGI. Meskipun begitu, suara yang dipinjamkannya sukses mengembuskan beragam lapis emosi yang dimiliki Thanos. Hasilnya, Thanos memiliki kualitas yang membuat dirinya mengesalkan sekaligus mengesankan. Film ini tentunya memiliki beberapa kekurangan. Bagusnya, kekurangan yang ada tidak secara signifikan melukai kualitas filmnya. Salah satu kekurangan yang akan gue bahas adalah tentang sedikitnya penggalian karakter Black Order. Filmnya hampir tidak mengenalkan lebih jauh perihal keempat ajudan Thanos ini. Imbasnya, karakter mereka jadi terasa seperti tempelan semata. Namun, hal tersebut pada dasarnya bisa dipahami karena dengan begitu banyaknya karakter yang terlibat di film ini ditambah kemunculan Thanos yang mau tidak mau harus didahulukan pendalaman karakternya, maka Black Order dikesampingkan. Kesimpulannya, ‘Avengers: Infinity War’ adalah film yang penuh adegan aksi memukau dengan sentuhan emosi yang menciptakan haru. Tidak perlu khawatir kalau kalian belum menonton semua film Marvel sebelum ini, karena filmnya melontarkan beberapa referensi film pendahulunya di sana-sini. Mengingat ini film Marvel, jangan langsung beranjak saat lampu bioskop menyala karena ada satu adegan post-credit yang sangat sayang untuk dilewatkan! SKOR: 4.5/5 ROMANSA MANIS DAN MEMABUKKAN SI BUJANG LAPUK Ah… Cinta. Kalau ngomongin hal yang satu ini kayaknya gak ada habisnya ya. Katanya sih, semua orang butuh cinta. Cinta juga disebut banyak bentuknya dan gak melulu soal pacaran. Cinta sama pekerjaan misalnya. Atau cinta dengan orang tua. Khusus cinta sama pasangan, kalian ngerasa gak sih kalau jenis cinta tersebut dipengaruhi banget oleh konstruksi sosial? Contohnya karakteristik pasangan ideal dan kapan cinta tersebut harus disahkan ke dalam sebuah pernikahan yang sering dikaitkan dengan usia tertentu. Padahal, setiap orang kan beda-beda ya dan gak ada rumus pasti yang menyatakan pasangan serta usia ideal buat nikah itu seperti apa. Kemudian, yang paling penting, hubungan ceramah ini dengan film yang mau gue review apa? Gak ada sih. Oke, lanjut ke ‘Love for Sale’. Richard (Gading Marten) adalah seorang pengusaha percetakan yang masih betah sendiri meskipun usianya sudah menginjak kepala empat. Richard juga sangat disiplin soal waktu. Doi paling marah kalau karyawannya ada yang terlambat datang atau makan siang kelamaan. Sehari-hari, interaksinya dengan sesama manusia boleh dibilang seadanya saja. Adalah Kelun yang hadir menjadi sahabatnya, seekor kura-kura berusia 17 tahun yang setia menemani Richard nonton bola sampai ketiduran. Zona nyaman Richard akhirnya terusik saat salah satu dari kawan nobar bolanya akan menikah. Mereka bertaruh kalau Richard pasti akan datang sendiri, seperti biasanya, ke pernikahan tersebut. Merasa tertantang dengan taruhan kawan-kawannya, Richard melancarkan segala cara untuk mencari teman kencan. Titik terang mulai terlihat saat ia iseng mencoba aplikasi cari jodoh yang bernama Love Inc. Arini (Della Dartyan) kemudian hadir di depan pintunya sesuai ‘pesanan’. Yang tidak Richard ketahui, momen dimana ia membukakan pintu untuk Arini adalah saat dimana hidupnya akan berubah. Selamanya. Tema ‘jomblo mencari cinta’ boleh dibilang adalah tema yang pasaran dan sudah diangkat di berbagai medium. ‘Love for Sale’ mencoba mengangkat tema tersebut dengan menyelipkan sophistication dan quirkiness a la Spike Jonze. Bukan bermaksud membandingkan, namun memang yang pertama kali terbersit ketika menonton film ini adalah film ‘Her’-nya Spike Jonze yang tayang tahun 2013. Bagusnya, film ini berhasil berdiri dengan DNA-nya sendiri thanks to penyutradaraan Andibachtiar Yusuf yang grounded. Sebagai sutradara sekaligus penulis film ‘Love for Sale’, sosok yang biasa dipanggil Ucup ini menebarkan jejak kakinya dimana-mana. Ucup merupakan penggemar berat sepak bola dan karya-karyanya sebelum ‘Love for Sale’ juga banyak yang berkutat dengan dunia sepak bola. Salah satu filmnya yang bertemakan sepak bola, ‘The Conductors’, berhasil memenangkan Piala Citra kategori Film Dokumenter Terbaik pada tahun 2008. Gak heran kalau ‘Love for Sale’ juga penuh akan referensi sepak bola, mulai dari hobi karakter utamanya hingga lelucon yang disampaikan di film ini banyak yang berkaitan dengan sepak bola. Tangan dinginnya juga berhasil membuat ‘Love for Sale’ menjadi tontonan yang tidak menggurui namun tetap relatable. Naskah yang ditulisnya bersama M. Irfan Ramly dipenuhi oleh sindiran-sindiran yang kocak dan menyentil. Sementara dari segi penuturan cerita, ‘Love for Sale’ terhitung lancar walaupun sempat tersendat di paruh awal filmnya. Sisi teknis film ini juga tergarap dengan baik, terutama set decoration-nya. Tempat tinggal dan kantor percetakan Richard diperlihatkan berantakan dan sumpek seakan mencerminkan kehidupan pribadi Richard yang juga tidak terurus. Bergerak ke sisi akting, ‘Love for Sale’ dipadati dengan akting yang disampaikan secara pas oleh para pemainnya. Karakter pendukung di film ini banyak dan ada beberapa cameo juga. Dari seluruhnya, yang paling menonjol adalah karakter Panji (Verdi Solaiman) dan Pak Syamsul (Rukman Rosadi). Sebagai sahabat Richard, Panji adalah sosok yang gemar melontarkan kutipan religius dan nasihat meskipun tanpa diminta. Verdi Solaiman sukses membuat tokohnya mengena di ingatan biarpun porsi tampilnya minimalis. Cara doi memberikan penekanan pada dialognya cakep banget dan bikin penonton (baca: gue) terdorong untuk melakukan introspeksi pada kehidupan mereka. Kemudian ada Pak Syamsul, pegawai paling senior di percetakan milik Richard. Dialog beliau lebih sedikit dari Panji tapi setiap celetukan beliau selalu mengundang tawa dan bahkan rasa haru. Sekarang giliran departemen yang paling menonjol di film ini, yaitu departemen pemeran utama. Gading Marten jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan pertamanya menjadi pemeran utama di sebuah film. Meskipun masih terasa kurang saat akting galak, Gading mampu memberikan penampilan menyentuh di momen-momen yang menunjukkan kerapuhan Richard. Kepribadiannya yang nyeleneh (seenggaknya yang diperlihatkan di televisi) turut ditampilkan di sini dan semakin menambah dimensi karakter Richard. Namun, sepertinya Gading harus rela memberikan mahkota akting terbaik di film ini kepada lawan mainnya, Della Dartyan. Sejak menit pertama kemunculannya di film ini, Della terus memberkahi penonton dengan pancaran auranya yang begitu membius seakan menembus layar. Gak cuma parasnya yang cantik, Della juga berhasil menampilkan bahasa tubuh dan sensualitas yang luar biasa pas dengan karakteristik tokohnya. Sepintas, karakter Arini yang diperankannya terasa one-dimensional. Tetapi, itu semua memang sengaja sesuai dengan penokohan yang diberikan kepadanya di film ini. Twist yang muncul menuju akhir filmnya akan menjawab mengapa karakter Arini terkesan kurang dieksplor. Ngomong-ngomong soal twist, film ini sebenarnya sedari awal sudah melempar benih-benih petunjuk yang mengisyaratkan there’s something else about Arini. Gue tidak akan membocorkan detailnya, namun gue mau memberikan pujian kepada film ini atas keberaniannya untuk menyertakan twist tersebut. Meskipun muncul di belakang, twist di film ini menjadi katalis yang membuat kualitas ‘Love for Sale’ naik kelas. Keputusan film ini untuk tidak memberikan penjelasan lebih mengenai twist-nya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Film ini tentu juga memiliki beberapa kelemahan. Entah mengapa, gue merasa reaksi Richard saat twist di film ini muncul terlampau datar. Bisa jadi Richard digambarkan sama-sama bingung dan clueless layaknya penonton yang menyaksikan kisahnya. Tapi... sepertinya akan lebih nendang kalau Richard digambarkan mengalami some sort of meltdown yang pastinya akan semakin menambah lapisan karakternya. Masih seputar hal ini, gue juga merasa Richard melewati upaya-upaya yang seharusnya obvious untuk memahami twist tersebut. Contohnya, Richard gak terlihat mengecek aplikasi Love Inc sama sekali saat twist tersebut muncul atau at least nelpon balik customer service yang menghubunginya di awal. Jika diibaratkan kurang lebih jadinya seperti ini: Richard mengalami luka sayat di jarinya dan langsung memilih untuk ke rumah sakit tanpa memberikan pertolongan pertama dahulu ke lukanya tersebut. Meskipun begitu, kelemahan-kelemahan ini berhasil ditutupi dengan aspek-aspek positif lain yang dimiliki ‘Love for Sale’. Kesimpulannya, ‘Love for Sale’ adalah drama romantis yang berani, menggoda dan memesona. Penampilan memukau dari Della Dartyan seharusnya sudah lebih dari cukup untuk kalian jadikan alasan menonton filmnya di bioskop. Segera beli tiketnya sebelum filmnya turun layar! SKOR : 3.5/5 PERHELATAN OSCAR TINGGAL MENGHITUNG JAM!!! Kalau pecinta bola hari besar-nya adalah Piala Dunia, bagi gue hari besarnya adalah Oscar. I’ve always been drawn into movie awards show since the very beginning, especially The Oscars. Entah kenapa, nonton Oscar selalu bikin gue semangat dan merinding kesenengan sendiri. Apalagi kalau nontonnya live. Bukan nonton live di Amerika sana ya (although I hope someday I will be able to do that!), tapi live nonton di rumah via streaming or cable. Jangankan nonton main ceremony-nya deh, nonton live pengumuman nominasinya aja udah bikin gue bahagia bukan main. Ajaib memang efek yang diberikan Oscar kepada gue. If only I could turn them into pills so I could drink them every time the world tries to bring me down! Sebelum mulai prediksinya, izinkan gue untuk mengatakan bahwa yang akan kalian baca adalah gabungan dari opini pribadi, naluri (karena sejujurnya gue gak sempat menonton semua film dan performance yang dinominasikan) dan jejak rekam awards sebelum Oscar seperti Golden Globes, Critics’ Choice Awards, Screen Actors Guild Awards dan lain-lain. Kategori yang diprediksi juga tergolong kategori major karena gue merasa kapasitas gue belum sampai ke ranah kategori yang lain hahahaha. Alright, without further a due, here I present you 2018 ACADEMY AWARDS PREDICTIONS BY SOCIABLE MOVIE GUY! ACTRESS IN A SUPPORTING ROLENominees : Mary J. Blige – Mudbound Allison Janney – I, Tonya Lesley Manville – Phantom Thread Laurie Metcalf – Lady Bird Octavia Spencer – The Shape of Water Who will win : Allison Janney – I, Tonya Who should win : Allison Janney – I, Tonya Who might win : Laurie Metcalf – Lady Bird Sebenarnya, Allison Janney terlalu kuat untuk dikalahkan oleh nama-nama lain di kategori ini. Track record-nya juga hampir tanpa cela untuk perannya sebagai Ibu yang kasih sayangnya sangat twisted di fim I,Tonya. Semua awards besar sebelum Oscars disapu bersih oleh Allison Janney. Namun, kalau ada satu orang yang mungkin mencuri kemenangan beliau, sosok tersebut adalah Laurie Metcalf untuk perannya sebagai Ibu yang tegas namun hangat di Lady Bird. ACTOR IN A SUPPORTING ROLENominees : Willem Dafoe – The Florida Project Woody Harrelson – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Richard Jenkins – The Shape of Water Christopher Plummer – All the Money in the World Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who will win : Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Sam Rockwell – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who might win : Richard Jenkins – The Shape of Water Penampilan Sam Rockwell di Three Billboards Outside Ebbing, Missouri sebenarnya hampir kalah saing dengan rekan sesama pemain Woody Harrelson. Namun, karakter Sam Rockwell di film tersebut diberikan ruang lebih untuk berkembang sehingga tokohnya terasa lebih well-rounded. Meskipun begitu, penampilan scene-stealing Richard Jenkins sebagai tetangga sekaligus sahabat sang tokoh utama di The Shape of Water bisa jadi menyalip Sam Rockwell dan memenangkan kategori ini. ACTRESS IN A LEADING ROLENominees : Sally Hawkins – The Shape of Water Frances McDormand – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Margot Robbie – I, Tonya Saoirse Ronan – Lady Bird Meryl Streep – The Post Who will win : Frances McDormand – Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Saoirse Ronan – Lady Bird Who might win : Sally Hawkins – The Shape of Water Semua nama di kategori ini menyajikan penampilan yang kuat dan berbeda dengan satu dan yang lainnya. Namun, sama seperti di kategori Supporting Actress, Frances McDormand sulit untuk dikalahkan sebagai calon terkuat yang akan memenangkan piala emas. Sulit bukan berarti tidak mungkin, karena penampilan Saoirse Ronan yang layered dan sangat magnetik di Lady Bird menurut gue pantas diganjar Oscar. All the while Sally Hawkins mengantre di belakang mereka dan bisa jadi yang memberikan thank you speech di atas panggung. ACTOR IN A LEADING ROLENominees : Timothee Chalamet – Call Me by Your Name Daniel Day-Lewis – Phantom Thread Daniel Kaluuya – Get Out Gary Oldman – Darkest Hour Denzel Washington – Roman J. Israel, Esq Who will win : Gary Oldman – Darkest Hour Who should win : Gary Oldman – Darkest Hour Who might win : Timothee Chalamet – Call Me by Your Name Performa Gary Oldman sebagai Winston Churchill di Darkest Hour tergolong fenomenal. Beliau benar-benar bertransformasi menjadi mantan Perdana Menteri Inggris tersebut dengan penampilan yang sangat commanding. Tetapi, beliau harus berhati-hati karena penampilan Timothee Chalamet yang heart-breaking di Call Me by Your Name mengancam kemenangannya dengan serius. Kalau Chalamet menang, doi bakal menjadi peraih Best Leading Actor termuda sepanjang sejarah Oscars (umurnya baru 22 tahun coy!) WRITING (ADAPTED SCREENPLAY)Nominees : James Ivory – Call Me by Your Name Scott Neustadler & Michael H. Weber – The Disaster Artist Scott Frank, James Mangold & Michael Green – Logan Aaron Sorkin – Molly’s Game Virgil Williams & Dee Rees – Mudbound Who will win : James Ivory – Call Me by Your Name Who should win : James Ivory – Call Me by Your Name Who might win : Aaron Sorkin – Molly’s Game James Ivory sepertinya sudah bisa dipastikan akan memenangkan kategori ini, thanks to his sensitively-handled Call Me by Your Name script. Even though it’s a long shot, yang paling mungkin muncul sebagai pemenang di kategori ini selain James Ivory adalah Aaron Sorkin yang boleh dibilang merupakan seorang awards-darling. WRITING (ORIGINAL SCREENPLAY)Nominees : Emily V. Gordon & Kumail Nanjiani – The Big Sick Jordan Peele – Get Out Greta Gerwig – Lady Bird Vanessa Taylor & Guillermo del Toro – The Shape of Water Martin McDonagh – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who will win : Martin McDonagh – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who should win : Greta Gerwig – Lady Bird Who might win : Vanessa Taylor & Guillermo del Toro – The Shape of Water/ Jordan Peele – Get Out Walaupun kalau dinilai dari sisi orisinalitas skripnya Lady Bird masih kalah dibanding The Shape of Water dan Get Out, tapi Lady Bird memiliki sincerity dan modesty yang mengalir halus sepanjang filmnya. Ditambah dengan dialog yang cerdas dan super kocak, Lady Bird menurut gue pantas menyabet piala untuk kategori ini. Meskipun begitu, firasat gue mengatakan Oscar voters akan lebih memilih skrip Three Billboards yang gritty dan bleak. ANIMATED FEATURE FILMNominees : The Boss Baby The Breadwinner Coco Ferdinand Loving Vincent Who will win : Coco Who should win : Coco Who might win : Loving Vincent Lewat Coco, Pixar sekali lagi membuktikan bahwa mereka adalah yang teratas dalam memberikan pengalaman emosional dalam bentuk animasi. Disertai warna-warna cerah nan cantik serta alunan musik yang menarik, Coco tidak terkalahkan di kategori ini. Kalau pun ada yang berpotensi membuat kejutan dengan mengalahkan Coco, film tersebut adalah Loving Vincent yang sama-sama menawarkan pengalaman emosional nan mengharukan. CINEMATOGRAPHYNominees : Roger A. Deakins – Blade Runner 2049 Bruno Delbonnel – Darkest Hour Hoyte van Hoytema – Dunkirk Rachel Morrison – Mudbound Dan Laustsen – The Shape of Water Who will win : Roger A. Deakins – Blade Runner Who should win : Roger A. Deakins – Blade Runner Who might win : Dan Laustsen – The Shape of Water Roger A. Deakins merupakan seorang sinematografer senior yang sudah mendapatkan nominasi Oscar sebanyak 14 kali di kategori yang sama namun belum pernah menang. Gambar-gambar super indah hasil tangkapan beliau di Blade Runner 2049 sepertinya akan menghasilkan piala Oscar baginya. Saingan terberatnya adalah Dan Laustsen yang menghadirkan shot bernuansa muram namun tetap nikmat dipandang di The Shape of Water MUSIC (ORIGINAL SCORE)Nominees : Hans Zimmer – Dunkirk Johnny Greenwood – Phantom Thread John Williams – Star Wars: The Last Jedi Alexandre Desplat – The Shape of Water Carter Burwell – Three Billboards Outside Ebbing, Missouri Who will win : Alexandre Desplat – The Shape of Water Who should win : Hans Zimmer – Dunkirk Who might win : Hans Zimmer – Dunkirk Awal nonton The Shape of Water gue bahkan gak ngeh sama scoringnya. Tapi, pas didengerin ulang scoring-nya semakin lama semakin terdengar kawin sama filmnya. Kemudian, komposer senior Hans Zimmer juga gak main-main mengerahkan kemampuannya untuk musik Dunkirk. Scoring beliau terdengar sangat visceral dan meningkatkan intensitas filmnya yang memang sudah menegangkan. Menurut gue, Zimmer patut menang di kategori ini dan kesempatannya lumayan besar untuk naik ke atas panggung menerima piala Oscar-nya. MUSIC (ORIGINAL SONG)Nominees : Mighty River – Mudbound Mystery of Love – Call Me by Your name Remember Me – Coco Stand Up for Something – Marshall This is Me – The Greatest Showman Who will win : Remember Me – Coco Who should win : Remember Me – Coco Who might win : This is Me – The Greatest Showman Diantara semua judul di atas, ada tiga yang menonjol yaitu soundtrack-nya Coco, Call Me by Your Name dan The Greatest Showman. Menurut gue, Coco berada di peringkat teratas karena kecocokan yang luar biasa saat lagu Remember Me dimainkan dengan adegan yang diputar di film (I’m talking about the scene near the end when Miguel sings the song to his Grandmother). Bukan hanya itu, liriknya juga selaras banget dengan tema filmnya secara keseluruhan. This is Me-nya The Greatest Showman, walaupun menurut gue slightly overdone, merupakan kandidat yang paling mungkin mencuri kemenangan Remember Me-nya Coco. DIRECTINGNominees : Christopher Nolan - Dunkirk Jordan Peele – Get Out Greta Gerwig – Lady Bird Paul Thomas Anderson – Phantom Thread Guillermo del Toro – The Shape of Water Who will win : Guillermo del Toro – The Shape of Water Who should win : Christopher Nolan - Dunkirk Who might win : Jordan Peele – Get Out Guillermo del Toro sepertinya harus bersiap-siap menulis ulang thank you speech-nya karena takutnya speech yang sebelum-sebelumnya sudah terdengar usang. Nama beliau hampir selalu terdengar di awards-awards tahun ini setiap kali pemenang Best Director dibacakan. Visinya yang imajinatif berhasil menjadikan beliau kandidat terkuat untuk memenangkan kategori ini. Biarpun begitu, menurut gue Christopher Nolan lebih berhak menang atas Dunkirk-nya yang ambisius. Di tangan sutradara lain, Dunkirk pasti akan menjadi tidak karuan dan mengecewakan. Sementara itu, Jordan Peele bisa jadi mencetak sejarah sebagai sutradara kulit hitam pertama yang menang Oscar di kategori ini untuk Get Out-nya yang very well-received. BEST PICTURENominees :
Call Me by Your Name Darkest Hour Dunkirk Get Out Lady Bird Phantom Thread The Post The Shape of Water Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who will win : Three Billboards outside Ebbing, Missouri Who should win : Lady Bird Who might win : The Shape of Water Akhirnya tiba juga di kategori paling bergengsi di jagat perfilman dunia. Pilihan filmnya bikin gue dirundung dilema sampai gue perlu merenung dulu untuk memilih ketiga judul di atas hahahaha. Berdasarkan selera Oscar voters dan jejak rekam pemenang Best Picture in recent years, Three Billboards boleh dibilang yang paling memenuhi kriteria. Kualitasnya bagus, bukan film mainstream, lingkupnya cenderung kecil dan tema filmnya terbilang berbobot. Di belakangnya ada The Shape of Water yang bisa jadi bikin Oscar voters kepincut karena temanya yang universal, yakni embracing differences. Selanjutnya ada Lady Bird yang menurut gue pantas menang walaupun gue sangat sangat sadar kemungkinan film ini untuk actually win the golden statuette luar biasa tipis. Tapi, gue gak bisa membohongi diri gue sendiri kalau Lady Bird adalah film yang paling mengena di hati gue dibandingkan yang lain. Temanya boleh jadi paling ringan dibandingkan Three Billboards dan The Shape of Water namun pesonanya sulit sekali ditolak. I’m sorry if I’m being subjective here but I just can’t help myself! Kalau kalian sendiri gimana, apakah ada jagoan tersendiri untuk memenangkan kategori-kategori di atas? Silakan share komen kalian disini yah atau give me a buzz through IG @wildanahmd juga boleh! Ohiya, Oscar bisa disaksikan besok secara langsung di HBO Asia jam 8 pagi dan jam 7 malam untuk siaran ulangnya. Selamat nonton Oscar! HARI-HARI TERAKHIR VINCENT VAN GOGH YANG MENYENTUH DAN MENYAYAT HATI Kalau di review sebelumnya yang dibahas adalah peristiwa penting dunia, kali ini tokoh dunia yang kebagian giliran. Yep, kisah tokoh dunia juga merupakan salah satu materi favorit untuk difilmkan. Mulai dari cerita tokoh politik, olahraga, dunia hiburan hingga seni sering wara-wiri di layar perak. Salah satu yang teranyar adalah ‘Loving Vincent’ yang menyoroti hari-hari terakhir pelukis asal Belanda, Vincent van Gogh, sebelum beliau meninggal dunia. Uniknya, film ini berformat animasi yang seluruhnya dibuat dari lukisan cat minyak hand-painted! Walaupun judulnya ‘Loving Vincent’, tokoh utama di film ini justru bukan Vincent van Gogh. Penggerak cerita di film ini adalah Armand Roulin (Douglas Booth), anak petinggi Kantor Pos Joseph Roulin (Chris O’Dowd) di daerah Arles, Perancis. Selama menetap disana, Vincent (Robert Gulaczyk) rutin mengirimkan surat kepada adiknya Theo van Gogh (Cezary Lukaszewicz). Saking seringnya ngirim surat, Vincent dan Joseph jadi berteman. Setahun setelah kepergian Vincent, Joseph meminta Armand untuk mengantarkan surat terakhir Vincent yang dialamatkan kepada adiknya. Secara enggan, Armand pun akhirnya mengabulkan permintaan ayahnya dan memulai perjalanan mengantarkan surat tersebut. Berhasilkah Armand menyampaikan surat tersebut kepada yang berhak menerimanya? Story-wise, gak ada yang spesial sama film ini. Ceritanya sederhana dan penuturannya pun gak rumit walaupun karakter yang ditampilkan cukup banyak. Tetapi, kesederhanaannya itulah yang semakin membuat filmnya menawan. Tone cerita ‘Loving Vincent’ terasa down-to-earth dan hangat, selaras dengan aura yang dipancarkan Vincent van Gogh sepanjang filmnya. Gak cuma itu, filmnya juga sukses memancing perasaan haru penonton dengan cara yang jauh dari kata eksploitatif. Naskah filmnya ditulis oleh Jacek Dehnel, Dorota Kobiela dan Hugh Welchman dimana dua nama terakhir juga berperan sebagai sutradara. Keduanya sukses mengarahkan film ini dengan sensitivitas yang luar biasa. Mereka menunjukkan bahwa mereka paham betul akan sosok yang mereka angkat dan melakukan penghormatan dengan cara yang pantas. Tidak ada yang terasa berlebihan atau dipaksakan di film ini. Semuanya disajikan dengan pas dan seiring berjalannya durasi ceritanya pun semakin menarik untuk diikuti. Film ini juga sukses membuat gue, yang sama sekali awam tentang Vincent van Gogh, jadi penasaran sama sosoknya. Bahkan bukan cuma penasaran, tapi juga jadi peduli dengan apa yang Vincent alami. Vincent digambarkan sebagai sosok yang misterius (bukan misterius serem ya, tapi misterius yang kompleks dan tidak banyak bicara tentang dirinya sendiri) dan cenderung eksentrik. Sayangnya, lingkungan sekitarnya gak mampu memahami dirinya dan hal itu membuat Vincent merasa menjadi outsider. Karakteristik yang dimilikinya dianggap terlalu aneh sama orang-orang disekitarnya. Gue yakin, setiap orang di dalam suatu fase dalam hidupnya pasti pernah merasakan hal yang sama seperti Vincent. Those times when you feel you don’t belong to your surroundings and feel no one gets you? Trust me, I know how suck it is. Dengan kata lain, film ini terasa relatable dan hal itu membuat filmnya semakin heartfelt. Dari segi pengisi suara, ‘Loving Vincent’ diberkahi dengan aktor-aktris yang berbakat. Saoirse Ronan (current Best Actress Oscar-nominee for the amazing Lady Bird) bahkan turut andil di film ini! Ronan cuma muncul sebentar sebagai Marguerite Gachet tapi karakternya berhasil menambah aspek ambiguitas film ini. Ngomong-ngomong soal ambiguitas, film ini sedari awal kental akan unsur tersebut dimana penonton akan disuguhkan beragam spekulasi tentang apa yang sebenarnya menyebabkan kematian Vincent. Tapi, jangan berharap kalau jawaban jernih akan kalian dapatkan saat filmnya berakhir. Aspek ambiguitasnya benar-benar terjaga hingga akhir film dan gue senang akan hal tersebut. Kenapa? Karena tujuan awal film ini memang bukan mengungkap penyebab kematian Vincent, melainkan menghadirkan sosok Vincent yang one-of-a-kind dari berbagai macam perspektif. Ohiya, walaupun Ronan ada di film ini dan gue saat ini sedang kepincut habis-habisan sama doi thanks to her spectular performance in Lady Bird, yang menjadi scene-stealer di ‘Loving Vincent’ adalah Eleanor Tomlinson. Berperan sebagai Adeline Ravoux, karakternya yang ceria menjadi magnet tersendiri bagi yang menonton. Tomlinson meminjamkan suaranya yang bernada enthusiastic ke dalam diri Adeline dan berhasil memberikan penampilan yang memorable. Membahas ‘Loving Vincent’ tanpa menyinggung aspek teknisnya rasanya bagaikan makan mie instan tanpa telor. Gak afdol dan terasa hampa (?). Film ini benar-benar mengusung konsep gotong-royong karena kurang lebih dibutuhkan 65.000 lukisan dari 125 pelukis untuk keseluruhan filmnya! Estetikanya kelas wahid, guratan cat minyak warna-warni silih berganti memberikan asupan ‘gizi’ bagi mata para penonton. Gak kebayang deh dedikasi yang diberikan oleh seluruh tim sampai film ini siap tayang di bioskop. Bravo! Kalau nanti kalian nonton ‘Loving Vincent’, jangan buru-buru kabur saat lampu bioskop mulai menyala. Salah satu momen terkuat filmnya justru hadir saat closing credits-nya bergulir. Lagu remake Starry-Starry Night (versi aslinya dinyanyikan oleh Don McLean) hadir mengiringi closing credits-nya dan efek emosionalnya luar biasa. Dibawakan oleh suara merdu nan soulful Lianne La Havas, lagu ini menjadi penutup sempurna yang sukses membuat gue merinding saking powerful-nya. Believe it or not, saat gue nonton ‘Loving Vincent’ di bioskop, gak ada satu orang pun yang beranjak dari kursinya sebelum lagunya selesai diputar. Jika kalian menyaksikan ini dan tidak merasakan apapun, segera periksakan diri kalian ke dokter untuk dicek kalian beneran manusia atau bukan. ‘Loving Vincent’ tentu hadir bukan tanpa kelemahan. Pace cerita dalam film terasa goyah pada beberapa bagiannya. Bagian-bagian tersebut terkesan diburu-buru sehingga berpotensi membuat penonton tidak keep-up dengan ceritanya. Bagian yang dimaksud adalah saat awal film dan saat penjelasan mengenai insiden yang membuat Vincent diusir dari Arles. Untungnya, kecepatan penuturan film ini berangsur-angsur membaik pada paruh kedua dan ketiga filmnya.
All in all, ‘Loving Vincent’ adalah tribute bagi Vincent van Gogh yang dilantunkan secara indah. Didukung dengan animasi yang memanjakan mata, film ini akan membuat kalian kagum, sedih sekaligus terharu. Untuk yang gampang nangis, jangan lupa siapkan (berlembar-lembar) tisu ya! SKOR :4/5 DRAMA JURNALISTIK MENEGANGKAN DARI STORYTELLING MASTER STEVEN SPIELBERG Peristiwa penting yang terjadi di dunia seringkali jadi bahan empuk untuk dijadikan sebuah film. Kisah-kisah yang dipilih biasanya yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat atau yang menjadi buah bibir media selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun). Tapi, para filmmaker gak boleh sembarangan kalau mau bikin film based on true events. Selain harus mengumpulkan materi yang komprehensif, filmmaker juga harus memastikan bahwa penggambaran di film akurat dan representatif terhadap keseluruhan komponen peristiwa yang mereka wakili. Wah, berat juga ya? Memang. Belum lagi mereka harus memastikan bahwa filmnya tetap punya unsur entertaining yang bisa menarik penonton. Penyampaiannya terlalu berat, penonton bisa jadi malah mendengkur nikmat. Kalau yang terjadi sebaliknya, film bisa dituduh menyepelekan dan tidak menghormati peristiwa yang jadi inspirasinya. Untungnya, film berdasarkan peristiwa nyata The Post, berhasil menghindari hal-hal yang berpotensi meninabobokan penontonnya. Here’s why. Berlatar tahun 1970-an, The Post memasang dua pelakon senior Meryl Streep dan Tom Hanks sebagai nakhoda ceritanya. Streep berperan sebagai Katharine Graham, publisher wanita pertama sekaligus pemilik The Washington Post. Sementara Hanks mendapat bagian memainkan Editor-in-Chief The Washington Post, Ben Bradlee. Watak mereka yang bertolak belakang seringkali menimbulkan friksi di antara keduanya. Dalam mengambil keputusan, Katharine penuh pertimbangan sementara di dalam kamus Ben tidak ada yang namanya segan. Dinamika keduanya semakin diuji saat artikel kompetitor mereka, The New York Times, memicu tim jurnalis The Washington Post untuk mendalami indikasi adanya upaya pengelabuan fakta oleh pemerintah Amerika Serikat terkait dengan perang Vietnam. Berangkat dari premis tersebut, filmnya kemudian bergulir menyajikan usaha tim The Washington Post untuk menerbitkan dokumen yang dikenal dengan nama Pentagon Papers. Perjuangan mereka digambarkan penuh dengan ketegangan karena selain harus adu balap dengan waktu, mereka juga harus menghadapi berbagai pihak yang gak suka kalau Pentagon Papers dirilis. Sepanjang film, penonton sukses diajak ikutan harap-harap cemas berkat naskah cerdik yang ditulis oleh Liz Hannah dan Josh Singer. Jalinan ceritanya juga bakal bikin penonton gemas bahkan untuk yang benar-benar awam dengan Pentagon Papers (kayak gue hahahaha). Ngomong-ngomong soal naskah, film ini memiliki apa yang gue sebut dengan momen puncak dan build up-nya sangat rapi. Satu demi satu, ‘benih-benih’ momen tersebut ditebar sejak awal durasi hingga akhirnya yang diantisipasi muncul dengan luapan emosi yang terjaga. Gak seru tentunya kalau gue deskripsikan momen apa yang dimaksud. Yang pasti, momen tersebut berkaitan dengan tokoh yang diperankan Meryl Streep. Naskah yang baik tentu akan berat sebelah kalau gak diimbangi dengan kemampuan pemain yang mumpuni. Gerombolan karakter pendukung di film ini dibawakan dengan mulus oleh aktor-aktris berkualitas wahid. Mulai dari Bob Odenkirk yang terkenal akan aktingnya di serial Breaking Bad dan Better Call Saul, Carrie Coon yang penampilannya di serial The Leftovers super heart-breaking hingga Matthew Rhys yang performanya di serial The Americans sering masuk daftar akting terbaik, semuanya berkontribusi menjadikan The Post tontonan yang menarik. Di film ini, mereka bertiga memerankan Ben Bagdikian, Meg Greenfield dan Daniel Ellsberg, respectively. Sementara di departemen tokoh utama, Streep berhasil mencuri perhatian lebih dibandingkan dengan Hanks. Penampilan Hanks bukan berarti buruk, ia sukses membawakan karakter Ben yang idealis, keras kepala dan kompetitif dengan likeability yang pas. Namun, Streep ‘menang’ karena beliau dengan piawai menimbulkan empati penonton terhadap kesulitan yang dihadapi Katharine. Akting terbaik Streep di film ini muncul setiap kali ada adegan yang mengharuskannya menampilkan emosi berlapis hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah dan gestur tubuh. Pengembangan karakter Katharine juga diberikan ruang yang paling luas disini. Sepanjang film, penonton akan turut menyaksikan perubahan Katharine dari sosok pemimpin yang diremehkan hingga berhasil bangkit menunjukkan taringnya sebagai pemimpin. Semuanya ditampilkan Streep secara effortless dan believable. Wajar banget kalau akting Streep di film ini berbuah nominasi Oscar yang ke-21 untuk beliau dan semakin mengukuhkannya sebagai pemain film dengan nominasi Oscar terbanyak sepanjang sejarah (dan doi udah menang tiga kali!). Naskah sudah baik. Talenta sudah hebat. Sekarang hanya perlu orang yang berkemampuan menyulap elemen-elemen tersebut menjadi tontonan yang berkualitas. Inilah bagian dimana peran seorang Steven Spielberg sebagai sutradara sangat terasa. Spielberg memang dikenal sebagai salah satu sutradara yang kemampuan storytelling-nya berada di jajaran teratas. Cara beliau menerjemahkan naskah ke dalam bahasa film dan mengawinkannya dengan kemampuan para pemainnya sangat jempol-able (baca: patut diacungi jempol). The Post punya inti cerita yang tidak ringan namun Spielberg berhasil mengemasnya menjadi film yang enjoyable sekalipun penontonnya datang tanpa bekal sama sekali mengenai subjek yang dibahas. Di tangan orang lain, film ini bisa-bisa jadi terlalu rumit dan pretentious. Hebatnya lagi, Spielberg dikabarkan hanya memiliki waktu sebanyak sembilan bulan untuk proses pembuatan filmnya! Hal tersebut tergolong singkat untuk standar film Hollywood yang umumnya tidak pelit waktu demi menyempurnakan kualitas film. Elemen-elemen lain di The Post juga bekerja dengan baik dalam menyokong kualitas film secara keseluruhan. Kostum dan desain produksi yang disuguhkan memberikan rasa 70an yang kuat. Sound yang disodorkan juga menambah elemen ketegangan film ini. Bunyi mesin tik hingga suara mesin pencetak koran saling bekerja sama menambahkan intensitas ke dalam jalinan cerita. Sinematografi oleh Janusz Kaminski pun terlihat cantik walaupun sebagian besar setting filmnya berada di dalam ruangan. Gak cuma itu, editing film ini juga memberikan sumbangsih terhadap enjoyableness (kata ini kayaknya gak ada di kamus sih, tapi I know you get it lah) filmnya dan terasa sangat Spielberg. Walaupun yang bertugas sebagai editor adalah Sarah Broshar dan Michael Kahn (editor langganannya film Spielberg) tapi gue yakin betul andil Spielberg besar disini. Kenapa? Soalnya editing feel filmnya mengingatkan gue akan film Bridge of Spies yang notabene digawangi oleh Spielberg juga. Gue cuma bisa wondering Kahn pasti sudah ngelotok banget terhadap gaya editing film Spielberg kayak apa. Keterlibatan Spielberg di film ini sayangnya gak bisa menutupi kelemahan-kelemahan yang dimiliki The Post. Sebelumnya sempat disinggung kalau film ini enjoyable. Tapi, agar bisa menikmatinya dengan penuh penonton harus memasang konsentrasi ekstra. Hal ini dikarenakan filmnya berlari cepat dan informasi yang disampaikan padat. Bagusnya, hal tersebut bikin filmnya gak membosankan. Namun, kalau penonton hilang konsentrasi sedikit filmnya tetap ngibrit sehingga perlu waktu untuk mengingat-ingat kembali. Ditambah lagi, karakter pendukung di film ini sangat banyak dan pengenalan yang diberikan hanya seadanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul saat menonton film ini adalah “Eh ini kenapa ya? Bentar deh, si itu siapa sih? Dia ngapain disini?”. Risiko tersebut berpotensi lebih besar dialami penonton awam seperti gue. Datang ke bioskop tanpa amunisi pengetahuan apapun, gue mau tau filmnya berhasil atau gak mengenalkan subjek yang diangkatnya kepada penonton. Sebagai penonton awam, gue nyatakan film ini berhasil. Namun, dengan catatan konsentrasi harus dipeluk erat sepanjang berjalannya film. Kesimpulannya, The Post menghidangkan drama jurnalistik yang cepat, padat dan didukung akting yang memikat. Walaupun kadang membuat kewalahan, kualitas film ini tetap patut dijadikan alasan untuk kalian pergi ke bioskop. Cukup siapkan konsentrasi dan kalian pasti akan menikmati film ini! SKOR: 3.5/5 Kisah Kebangkitan Raja Wakanda yang Bikin Ingin Berseru Wakanda Forever! Sebagai pembuka tahun 2018, Marvel memilih babak lanjutan dari cerita T’Challa (Chadwick Boseman) yang sebelumnya diperkenalkan kepada penonton di film Captain America : Civil War. Berlanjut dari situ, di film solonya ini T’Challa dikisahkan sedang bersiap menghadapi penobatan dirinya sebagai Raja Wakanda yang baru selepas kepergian Raja Wakanda sebelumnya, T’Chaka, yang merupakan ayah kandung T’Challa. Namun, perjalanan T’Challa menjadi Raja Wakanda yang sesungguhnya dipenuhi beragam rintangan. Mulai dari pergolakan batin hingga perbedaan ideologi senantiasa membuat petualangan T’Challa jauh dari kata mulus. Lantas, berhasilkah T’Challa membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi Raja Wakanda? Disutradarai oleh Ryan Coogler, Black Panther merupakan film superhero yang gak cuma bergantung dengan adegan aksi atau ledakan semata. Berkat tangan dinginnya, aksi T’Challa dan kawan-kawannya terasa semakin menarik karena ditemani dengan drama berbobot dan penampilan memukau dari para pemainnya. Jadi, pada saat mereka beneran beraksi alias berantem, mereka gak cuma sekedar adu jotos dan pakai senjata ini itu. There are real stakes here. T’Challa galau harus mengikuti tradisi turun temurun demi menjaga Wakanda atau menjajal ideologi baru yang dapat menjadikan Wakanda bermanfaat bagi masyarakat luas. Musuh utamanya, Erik Killmonger (Michael B. Jordan) memiliki tujuan yang pada hakikatnya mulia namun caranya ekstrim dan dilandasi dendam yang luar biasa mendalam. Kudos untuk Joe Robert Cole dan Ryan Coogler yang juga ikutan nulis naskah Black Panther yang memikat ini. Ngomong-ngomong soal naskah, salah satu yang bikin Black Panther seru dinikmati adalah banyaknya karakter-karakter yang memesona dengan penggambaran multi dimensional. Sebagai seorang pemimpin, T’Challa gak semerta-merta sempurna dan selalu tahu apa yang harus dia lakukan. Bingung, ragu, sampai kesengsem sama perempuan merupakan aspek-aspek vulnerability yang digambarkan dimiliki oleh T’Challa. Belum lagi Chadwick Boseman berhasil betul membawakan aspek-aspek tersebut tanpa kehilangan kharisma dan kesederhanaan dari seorang pemimpin. Gue suka banget adegan pas T’Challa jalan-jalan di tengah kota sama love interest-nya Nakia (Lupita Nyong’o). Momennya singkat tapi powerful. Disitu kita disuguhi seorang T’Challa yang lagi let loose dan cengar-cengir tulus sambil ngobrol sama Nakia. I mean, he’s a king! Kapan lagi bisa lihat raja digambarkan dengan sangat manusiawi dan membumi? Sebagai counterpart-nya di adegan tersebut, Lupita Nyong’o juga lihai menyaingi akting prima Chadwick Boseman yang membuat chemistry mereka terasa sampai ke kursi penonton. Keberanian film Black Panther dalam menunjukkan sisi manusia karakternya inilah yang bikin filmnya beda dari film superhero lain dan patut diacungi jempol. Masih soal karakter, ada tiga sosok lain yang juga gak kalah memorable disini. Pertama ada Okoye yang boleh dibilang merupakan panglima utama si Black Panther. Diperankan oleh Danai Gurira (terkenal atas perannya sebagai Michone di serial The Walking Dead), Okoye sangat kuat dan mematikan saat melawan musuh-musuhnya. Namun, saat lagi gak megang tombak Okoye terlihat hangat dan kalimat yang keluar dari mulutnya gak jarang mengundang tawa. Okoye juga digambarkan luar biasa loyal terhadap Wakanda. Kalau di dunia nyata, Okoye pasti jadi langganan employee of the month saking berdedikasinya sama perusahaan. Selanjutnya ada Shuri yang merupakan adik T’Challa sekaligus technology advisor di Wakanda. Tokohnya diperankan oleh Letitia Wright dan otaknya encer banget. Meskipun jenius, Shuri punya sifat yang nyeleneh dan super santai. Tapi, justru disitu letak pesona karakter ini. Seringkali jadi penyegar di tiap adegan yang melibatkan dirinya, Letitia Wright berhasil menjadi scene-stealer yang bikin kualitas Black Panther naik kelas. Terakhir, ada Erik Killmonger yang jadi lawan utama T’Challa. Michael B. Jordan sukses membuat karakter Erik Killmonger berbahaya namun berkharisma. Berkat kharismanya yang membius, banyak banget IG stories temen-temen gue yang cewek pada bahas Michael B. Jordan selepas nonton filmnya. Kalau Erik Killmonger punya Instagram, pasti dia bakalan bikin geng KPK (Kelompok Penjahat Kece) barengan Loki dan pasti sering di-endorse karena followers-nya banyak. Gak hanya itu, Black Panther juga didukung koreografi, musik, production design, art direction, makeup & hairstyling dan costume design yang ciamik. Khusus dua yang terakhir sangat patut diberikan apresiasi lebih karena tata rias, rambut, dan kostum-kostum yang ditampilkan benar-benar menawan dan memanjakan mata. Modern namun mengandung cita rasa tradisional yang kuat. Meskipun masih terlalu early, gak berlebihan rasanya kalau Ruth Carter sang costume designer dan orang-orang di tim make-up & hairstyling film ini jadi front-runners nominasi Oscar tahun depan untuk kategori Best Costume Design dan Best Makeup and Hairstyling, respectively. Pujian terakhir yang gue berikan untuk film ini adalah keberhasilannya menampilkan sosok super hero yang tidak dominan. Gak ada yang salah dengan sosok super hero yang dominan, kayak Iron Man dan Captain America karena kemampuan dan tidak jarang situasi menempatkan mereka front and center. Tapi, cara penyampaian film ini yang tidak mengeksploitasi sang Black Panther habis-habisan membawa angin segar di ranah film super hero. Film ini gak malu-malu kasih porsi lebih ke Nakia, Okoye dan Shuri untuk ikut berpartisipasi dalam membela Wakanda. Karakter mereka juga punya kesamaan, yaitu sama-sama wanita kuat yang aktif memberikan kontribusi tanpa menunggu disuruh dulu. Saking gak dominannya T’Challa, gue melihat film ini lebih ke arah ensemble ketimbang film Black Panther-nya sendiri. And that’s a good thing. Last but not least, film ini tentunya juga gak sempurna. Salah satu hal yang sampai saat ini masih gue perdebatkan adalah kenapa Erik Killmonger memilih buat bekerja sama dengan Ulysses Klaue (Andy Serkis). Gue sempat berpikir alesannya adalah demi akses ke Wakanda, tapi kayaknya bukan itu deh kalau melihat alur berjalannya film. Gue yakin ada penjelasan detail di balik keputusan Erik mengingat dia adalah orang yang strategic. Namun, kemungkinan karena alasan durasi hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit di filmnya.
Ada satu lagi yang cukup mengusik gue, yakni adegan Nakia menyelamatkan tawanan human trafficking di awal film. Pada adegan tersebut diceritakan Nakia dan kawan-kawan berhasil menuntaskan si penjahat. Setelahnya, para tawanan yang semuanya wanita disuruh pulang sendiri dan itu setting-nya malam-malam buta di tengah hutan. Hmm… bukannya sama bahayanya ya nyuruh mereka pulang unsupervised? Ini malah jadi keluar lubang buaya masuk kandang macan gak sih? Gue berusaha positive thinking dengan bergumam dalam hati “Oh, mungkin tawanan tersebut udah hapal betul rute pulang yang aman gimana. Lagian rame-rame juga pulangnya…”. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah kekurangan-kekurangan tersebut terhitung minor dan sama sekali tidak menyakiti kualitas filmnya secara signifikan. Kesimpulannya, Black Panther menghadirkan adaptasi komik yang belieavable, seru dan meninggalkan kesan. Dipadati dengan karakter yang memikat, Black Panther berhasil masuk ke jajaran film terbaik Marvel Cinematic Universe. Kehadiran film ini membuat film-film Marvel selanjutnya (dan film-film serupa saingannya) harus bekerja lebih keras untuk menandingi pencapaian Black Panther. Wakanda Forever! SKOR : 4/5 A CROWDED AND NONSENSICAL FUN RIDE (After a long- and unplanned-hiatus like this, I usually start my post by apologizing for abandoning this blog for a long time. But I know you all are tired of that so I’ll just skip it and jump right into the review :p) For the past few months, we’ve been fed with lots of Suicide Squad promotional posters, teasers, and trailers. The hype has been crazy. Everyone is buzzing and talking about how they are very excited to see the movie. Including me. Margot Robbie’s Harley Quinn’s Empire cover has been sitting on my phone as the main wallpaper since the magazine came out. But sadly I can’t help but feeling disappointed walking out the theater after seeing Suicide Squad. Here’s why. Set in the same universe where Batman and Superman live, Suicide Squad is a team created by Amanda Waller (Oscar-nominee Viola Davis) who is some sort of head of A.R.G.U.S (Advanced Research Group Uniting Super-Humans). The members of the team are all criminals currently inhabit the Belle Reve prison. They are Harley Quinn (Margot Robbie), Deadshot (Oscar-nominee Will Smith), Captain Boomerang (Jai Courtney), El Diablo (Jay Hernandez), Killer Croc (Adewale Akinnuoye-Agbaje), and Slipknot (Adam Beach). She formed the team as the anticipation to incoming dangerous threats that may be too big to handle by regular soldiers. (MINOR SPOILERS AHEAD. YOU’VE BEEN WARNED) I’ll just be straight forward here. The main problem with Suicide Squad is the movie has too many nonsensical things going on in it I literally don’t know where to start. I think it is because both the story and the characters are poorly written. For example, the main villains in the film are depicted so strong and yet they do something that doesn’t feel necessary in doing their mission. I’m talking about the machine they’re making almost the entire film. I mean, don’t you guys think they really can just snap their fingers and we’re all going to die? Why bother wasting their time building the ‘destruction’ machine? Their motivation in doing so is just as confusing. It is said because humans no longer worship them and start worshipping machines more. Well, yes I get it but I’m sorry it is just not convincing enough. Another major let down is how the Joker (Oscar-winner Jared Leto) acts. Yes, he’s supposed to be crazy and wacky. But the Joker here is just uncharismatic and over the top. Instead of being terrified, I feel super annoyed every time he shows up. Leto is a good actor but the material given to him is not. But the biggest head-scratching character goes to Amanda freakin’ Waller. I remember saw her character in the DC animated film ‘Batman: Assault on Arkham’ that is way better than the one in Suicide Squad. Unlike in the animated film, the Amanda Waller here is selfish, stubborn, and very obnoxious. It almost feels like she forms the squad just for herself. She should have been a strong, respected (and sometimes feared) authoritative figure. But the film makes her even more hate-able than the main villains. Enough with the bad things and now let’s talk about the highlights of the film. First and foremost is Margot Robbie as the lethal Harley Quinn. Although her transition from being sane to insane is still questionable, she’s basically the one who’s responsible for giving the film its charm. It’s interesting to see where DC’s next films will take her character and how they will develop her. I also find the music in the film interesting. DC must have spent a lot of money for the music since the people contributing to the soundtracks are all household names. From Imagine Dragons to Twenty One Pilots, the songs certainly support the film all in the right way. The visual in Suicide Squad is another thing to adore. The film is bursting with vibrant and eye-popping colours that is surely a treat for the eyes.
Although it is somewhat still enjoyable, Suicide Squad is the perfect example of no matter big the promotion or the cast of the film is, it all comes down to the story. If the story fails, then the whole film will fail too. Score: 2.5/5 DiCaprio! Winslet! Larson! Inarritu! Will all of those names continue their winning streak in the Oscars? Or will there be any surprise that nobody saw it coming? Who will actually win those coveted trophies? Who should win them instead? Or who has the potential to surprise us and snag the golden statuette? Stop scratching your head looking for the answers because your Sociable Movie Guy is here to the rescue! Disclaimer: The predictions below are based on my personal judgment (& hunch) and recent awards trend. I only do prediction on categories that (I believe) I have the knowledge of. I’m also aware that I haven’t seen all of the nominated movies and performances, but let’s not get too serious with these predictions shall we. Because life’s already tough without us being too serious, isn’t it? :p Without further a due, here I present you: SOCIABLE MOVIE GUY’S LAST-MINUTE OSCAR PREDICTIONS! BEST SUPPORTING ACTRESS Nominees:
Who will win: Kate Winslet for Steve Jobs Who should win: Alicia Vikander for The Danish Girl Who might win: Alicia Vikander for The Danish Girl Winslet has been winning the statuettes from the other awards for this category. It’s likely that she will continue giving her acceptance speech at the Oscars. But she has to watch out, because Vikander’s vulnerable yet powerful performance in ‘The Danish Girl’ is quietly lurking behind her and ready to steal the moment anytime. BEST SUPPORTING ACTOR Nominees:
Who will win: Sylvester Stallone for Creed Who should win: Jacob Tremblay for Room. Who might win: Christian Bale for The Big Short I haven’t had the time to see ‘Creed’ but Sly has been getting the accolades from the other awards. So there’s a big chance that he’ll give us another speech at the Oscars. As for Tremblay, I know he isn’t even nominated at this year’s Oscars, but have you seen his heart-breaking (and award-worthy) performance in ‘Room’? If it were up to me, he would definitely be the winner. If The Academy decides not to give the award to Sly, then Christian Bale is next in line to receive it. BEST ACTRESS Nominees:
Who will win: Brie Larson for Room Who should win: Brie Larson for Room Who might win: None. Brie Larson is too strong a contender for anyone to beat her now, although I won’t complain if the award eventually goes to Saoirse Ronan for her subtle-yet-strong performance in ‘Brooklyn’. BEST ACTOR Nominees:
Who will win: Leonardo DiCaprio for The Revenant Who should win: Eddie Redmayne for The Danish Girl Who might win: Michael Fassbender for Steve Jobs This one is very interesting. DiCaprio absolutely nailed his ultra physically-demanding role in ‘The Revenant’. But if I had to choose, I’d definitely go with Eddie Redmayne for his absorbing and heart-crushing performance in ‘The Danish Girl’. As for Fassbender, he’s been getting a buzz that if there was one person to steal the spotlight from DiCaprio, then it would be him. BEST ORIGINAL SCREENPLAY Nominees:
Who will win: Spotlight Who should win: Spotlight or Inside Out Who might win: Ex-Machina I’m torn between two movies that I think equally deserve the award. ‘Inside Out’ clearly wins for its originality, while ‘Spotlight’ wins for its intensity. All the while ‘Ex-Machina’ is slowly sneaking behind both of them to claim the victory. BEST ADAPTED SCREENPLAY Nominees:
Who will win: The Big Short Who should win: The Big Short or The Martian Who might win: Room Again, I’m divided into two strong movies. As much as I like ‘The Martian’ screenplay, I have a strong feeling that the recognition will finally go to ‘The Big Short’ writers. As for Room, although it has a very small chance to win, it is still has the likeliest chance to steal the award compared to the rest of the unmentioned nominees in this category. BEST ORIGINAL SONG Nominees:
Who will win: Writing’s on the Wall from Spectre (Sam Smith) Who should win: Writing’s on the Wall from Spectre (Sam Smith) Who might win: Till It Happens To You from The Hunting Ground (Lady Gaga and Diane Warren) Sam Smith is so far the front-runner to win the award. But he’s got a serious competition from fellow superstar Lady Gaga. BEST ANIMATED FEATURE Nominees:
Who will win: Inside Out Who should win: Inside Out Who might win: None Although ‘Anomalisa’ is the likeliest film in this category to steal the golden statuette, Disney-Pixar’s ‘Inside Out’ is still way too strong a contender for any other nominee to beat. BEST DIRECTOR Nominees:
Who will win: Alejandro G. Inarritu Who should win: Alejandro G. Inarritu Who might win: George Miller First of all, knowing that Ridley Scott is not among the nominated directors is upsetting because his work in helming ‘The Martian’ is absolutely terrific. Anyway, of all the names in this category, I do think that Inarritu is the most deserving. I can only imagine how challenging it was for him in bringing ‘The Revenant’ into one solid piece. But he’s got a tough competition in the form of George Miller, who successfully created the thrilling and energetic ‘Mad Max: Fury Road’. BEST PICTURE
Nominees:
Who will win: Spotlight or The Big Short Who should win: Spotlight Who might win: The Revenant I really can’t decide between ‘Spotlight’ and ‘The Big Short’. Both have the same strong themes, strong writings, and strong acting that I believe will attract most of the Oscar voters. But I do have the inclination towards ‘Spotlight’ because the movie is so gripping and hard-hitting while being modest at the same time. As for ‘The Revenant’, I’m aware that this one has been a favorite to win this biggest award (which it deserves too). But I just think that the film is too gruesome for most Oscar voters to actually give their votes to it. So there go my last-minute Oscar predictions. Let me know what you think about the predictions in the comment sections below and feel free to buzz me through my email ([email protected]/[email protected]) or my social media (@wildanahmd)! Adios and enjoy watching The Oscars! |
Archives
July 2018
Categories
All
AuthorA self-acclaimed movie guy who likes to socialize |